banner-detik

style

Kebaya Dulu dan Kini, Simbol Pembatasan atau Pemberdayaan?

seo-img-article

Sebelum tren dan nyaman dipakai seperti sekarang, kebaya punya sejarah panjang yang lekat dengan kelas sosial dan domestikasi perempuan. Kini, kebaya justru melambangkan pemberdayaan.

 

Beberapa tahun belakangan, kebaya kembali jadi tren busana. Kamu bisa melihatnya di media sosial. Sederet public figure maupun influencer memberikan tips styling dengan kain, rok, atau celana. Atau saat jalan-jalan di tempat umum, perempuan mengenakannya sebagai pakaian kasual.

Artinya, busana ini nggak lagi dianggap sebagai pakaian formal, yang cuma dikenakan untuk menghadiri acara tertentu. Soalnya, kalau kita flashback soal sejarahnya di era Orde Baru, kebaya identik dengan perayaan dan lambang dari ibuisme—ideologi yang memosisikan perempuan dalam peran domestik untuk mendukung kapitalisme negara.

Tien Soeharto sendiri yang merepresentasikan paham itu, dengan memaknai kebaya sebagai citra perempuan ideal. Image-nya adalah perempuan anggun dan lemah lembut, serta istri dan ibu yang selalu mendampingi suami dan anak-anak. Tentunya dengan mengenakan kebaya yang jadi ciri khasnya.

Baca juga: 5 Rekomendasi Fashion Brand Lokal untuk Makin Stylish Berkain

Ada juga organisasi perempuan—seperti Dharma Wanita dan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK)—yang menjadikannya sebagai seragam resmi. Tapi, di balik image tersebut, sebenarnya pakaian tradisional ini adalah simbol pembatasan ruang gerak perempuan.

 

Sempat jadi simbol domestikasi perempuan

Ada pandangan bahwa kebaya adalah busana eksklusif karena dikenakan oleh Ibu Tien—perempuan dari kelas menengah ke atas. Sementara masyarakat belum punya kemampuan finansial yang cukup, untuk bisa membelinya.

Citra kebaya sebagai penanda kelas sosial juga sebelumnya muncul di era kolonialisme Belanda, yang ditunjukkan lewat jenis kain yang digunakan. Waktu itu, perempuan dari kelas bangsawan memakai kebaya berbahan sutera, beludru, atau brokat. Kemudian perempuan Belanda mengenakan kebaya renda berwarna putih—warna yang saat itu dianggap superior. Sedangkan masyarakat biasa cenderung memakai kebaya yang bahannya lebih rendah.

Baca juga: Mengenal Manfaat dan Efek Samping dari Perawatan Tradisional Ratus!

Baru di pemerintahan Orba, kebaya identik dengan perempuan kelas menengah yang patuh melakukan pekerjaan domestik. Contohnya di organisasi Dharma Wanita dan PKK, perempuan diajarkan memasak, menjahit, dan merawat suami. Kegiatan ini nggak hanya mengikuti peran gender tradisional, tetapi cara pemerintah mengontrol stabilitas dan ketertiban negara.

kebaya kartini

Sama halnya dengan kebaya sebagai ciri khas perayaan Hari Kartini. Waktu SD dulu, setiap tanggal 21 April saya wajib berkebaya ke sekolah untuk mengikuti lomba—dan mungkin juga kamu punya pengalaman serupa. Daftar lomba yang bisa diikuti pun nggak jauh dari fashion show dan memasak.

Baca juga: Illipe Butter, Bahan Asal Kalimantan yang Melembapkan dan Menutrisi Kulit!

Tapi, sekarang busana ini nggak melulu dimaknai sebagai domestikasi perempuan dan lambang kelas sosial. Pakaian ini justru menunjukkan pemberdayaan perempuan.

 

Kebaya sebagai simbol perlawanan dan pemberdayaan

Kalau kembali ke masa kini, saya rasa kebaya lebih dilihat sebagai salah satu cara mengekspresikan diri dan bentuk perlawanan. Terutama terhadap tren fashion yang terus berkembang setiap musim, mendorong kita berperilaku konsumtif supaya tetap up-to-date dengan model terkini.

kebaya janggan

Buktinya, kebaya nggak cuma dipakai untuk acara agustusan, undangan pernikahan, atau wisuda. Kita bisa menjumpai perempuan hangout atau pergi ke kantor dengan nyaman pakai kebaya, public figure di red carpet film, dan hashtag berkebaya di Instagram. Bahkan, tahun lalu Dian Sastrowardoyo berhasil bikin kebaya janggan jadi tren, lewat karakter Jeng Yah di serial Gadis Kretek (2023).

Ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia bangga berkebaya, menunjukkan identitas nasionalnya. Mengenakannya menjadi salah satu cara merayakan dan mengapresiasi budaya, tanpa melupakan sejarah di balik pakaian. Artinya, kita bisa mengubah makna kebaya yang sebelumnya membatasi ruang gerak perempuan.

Kalau kamu gimana, apakah saat ini semakin bangga berkebaya?

 

Edited by Rahmi Davita

Images: Dok. Instagram/@andienaisyah, @raniaayamin, Dok. Netflix, Dok. iStock

Slow Down

Please wait a moment to post another comment