ic-fd

Deinfluencing: Apakah Review Buruk Jadi Parameter Kejujuran?

backstage beauty
author

annedean・18 Feb 2023

detail-thumb

Bukan hanya soal melawan konsumerisme, deinfluencing punya sisi lain.

Kalau kamu rajin scroll TikTok beberapa minggu terakhir ini, kemungkinan besar sudah lihat banyak video soal deinfluencing. Awalnya bermula dari beberapa TikTok content creator luar negeri di bulan Januari lalu, dan seperti tren apapun di TikTok, akhirnya nggak lama juga ramai di Indonesia.

Jadi apa sih deinfluencing? Kalau biasanya content creators mereview produk agar penontonnya jadi tertarik untuk coba, kali ini mereka justru lebih menyorot kekurangan dari produk itu supaya yang menonton nggak usah beli. “It’s not worth the hype!”  dan “I’m going to deinfluence you..” jadi kalimat yang jadi highlight di sini.

 

@michelleskidelsky i could talk about things we don’t need all day (yes i am talking to myself) #deinfluencing #overconsumption ♬ original sound – michelle

Tujuan review dengan gaya deinfluencing ini awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan dari trend cycles yang semakin cepat dan level konsumerisme yang terus meningkat meski di tengah terpaan isu resesi ekonomi serta isu lingkungan. 

Baca juga: Apakah Industri Kecantikan Indonesia Sudah Mengarah ke Fast Beauty?

Kelanjutan tren anti-haul

Konsep konten deinfluencing sebenarnya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Di tahun 2017 silam, saya sempat membahas juga tentang “Anti-Haul” yang saat itu hadir di tengah-tengah ramainya konten haul di Youtube di mana para creator memamamerkan hasil belanjaan mereka. Bedanya, deinfluencing menyelipkan review karena produknya memang sudah dipakai, sedangkan “Anti-Haul” mengajak untuk nggak beli produk rilisan terbaru yang creator pun juga belum coba. Biasanya karena produk itu terkesan gimmicky, atau seringnya sesuatu yang kita sudah punya di koleksi. Cause sometimes, we DO have enough nude lipsticks in our collection already. Cukup jelas kalau tujuan dari “Anti-Haul” ini mengajak buat lebih mindful sebelum beli produk baru.

Lalu, apakah tujuan deinfluencing saat ini masih sejalan dengan “Anti-Haul”?

‘Kejujuran’ dan negativity bias

Isu kejujuran dan kredibilitas dalam mereview memang selalu jadi perhatian. Glowing reviews tanpa satu pun poin minus, pembawaan yang persuasif semacam “kamu harus beli ini sih!” dari influencer bukannya menggoda untuk beli produknya, lama-lama membuat konsumen justru bertanya-tanya apakah produk itu beneran bagus. Ditambah lagi, topik ini juga sempat memanas akibat maraknya review buzzer beberapa waktu lalu.

Saya sempat melemparkan beberapa pertanyaan melalui Question Box di Instagram Stories @femaledailynetwork, salah satunya adalah “Menurut kamu, kenapa deinfluencing bisa jadi hype sekarang?”. Ternyata 68% responden menjawab “jadi tahu review yang jujur”. Hal ini pun juga terlihat dari komen-komen di konten deinfluencing yang saya temukan di TikTok, seperti “perbanyak review jujur kayak gini” atau “akhirnya ada yang berani review jujur”. Secara nggak langsung memunculkan arti baru, review buruk = review jujur. Review dari influencer yang ‘meracuni’ untuk membeli (yang sebenarnya juga bisa jadi memang jujur) jadi dipandang sebelah mata dan kredibilitas mereka dipertanyakan.

 

@heylulaa Untuk detail video nya penjelasan alasan kenapa nya, ada di section comment kalian bisa cek video lanjutan nya 🙏🏻 Aku disini pure minta maaf karena ada salah penyampaian kata yg diucap “jangan beli” atau “save ur money” itu bener2 pure kesalahan dari aku. Tidak ada niat sedikitpun untuk menjatuhkan nama brand yang aku sebutkan karena aku pun suka dengan produk, even ada beberapa produk nya yg (kurang) cocok diaku. Sekali lg ini aku minta maaf atas kesalahan kata2 pengucapan aku yang tidak bisa dibenarkan 🙏🏻 Jujur aku suka semua brand nya kok dan aku pakai produk mereka tapi ya beberapa aja yang cocok diaku, maaf ya 🙏🏻 #deinfluencingmakeup #beautytok #deinfluencing #deinfluencingproducts ♬ People – Libianca

Lebih jauh dari sekadar lelah dengan review influencer dan fast beauty, saya menemukan fakta psikologi menarik; ilmuwan mempercayai bahwa kita sebagai manusia memang memiliki kecenderungan untuk bereaksi dan fokus pada hal negatif . Neuropsychologist Dr. Rick Hanson bahkan mengatakan “otak manusia bekerja layaknya Velcro terhadap sesuatu yang buruk, dan seperti Teflon terhadap hal baik.” Jadi nggak heran kalau kita punya kecenderungan mudah kepincut sama review buruk dan konten deinfluencing banyak peminatnya. Terbukti dari penggunaan hashtag #deinfluencing di TikTok yang mencapai ratusan juta views!

Setiap orang tentu boleh punya opini, tapi menurut saya kalau yang dicari adalah ‘kejujuran’, isn’t it a bit unfair? Apalagi kalau review-nya hanya bilang “Ini nggak cocok di aku.” tanpa kasih alasan yang jelas. Hasil dari skincare dan makeup bisa berbeda di kulit setiap orang dengan  banyak aspek yang dapat mempengaruhinya. It’s not always about a product being overclaimed and overhyped, but more on how differently our skin can react to certain products. Jadi ketika nggak cocok pakai suatu produk, nggak selalu salah produknya juga.

Baca juga: Fast Beauty, Fenomena yang Tidak Kalah Mengkhawatirkan Saat Ini

Wake up call untuk fast beauty dan influencers

Namun kalau dilihat dari kacamata konsumerisme, deinfluencing sejalan dengan personal value yang selalu saya pegang: buy lessNggak semua rilisan terbaru, produk viral, dan produk dengan harga miring harus kita miliki saat itu juga. Ketika mindfulness diterapkan dalam proses mengambil keputusan, kita bisa lho merasakan JOMO (Joy of Missing Out). Editor-in-Chief Female Daily, Arinda, pun juga melihat fenomena deinfluencing ini sebagai ajakan untuk lebih mindful, bukan ajang review ‘jujur-jujuran’ semata.

Menurut pandangan saya, kalau ditanya gimana dampaknya ke industri kecantikan, khususnya di Indonesia, deinfluencing nggak akan serta-merta menyetop kiprah dari para brand kok. Justru bisa jadi wake up call atau sentilan agar brand juga bisa lebih mindful dalam memproduksi produk dan lebih terbuka terhadap kritik yang membangun.

It’s not gonna be “the end of influencers” either. Dari tren deinfluencing ini, brand dan influencers justru bisa sama-sama ambil pelajaran dan membuat environment yang lebih nyaman agar bisa mereview dengan lebih objektif.

Gimana opini kamu tentang deinfluencing? Ngobrol di kolom komen, yuk!

Images: Instagram @femaledailynetwork, iStock, TikTok