backstage beauty
01 Feb 2022
Masih Relevankah "Cantik Itu Putih"?
“Coba kalau kamu putih, cakepan deh” adalah salah satu kalimat basa-basi yang umum. Sebagai perempuan Indonesia, kemungkinan besar kamu pernah mendengar kalimat tersebut setidaknya sekali seumur hidup.
Kalau kamu merasa tersinggung, wajar. Namun, pernahkah kamu merenungkan bagaimana stereotip ‘cantik itu putih’ bisa dinormalisasikan sedemikian lamanya dan sedemikian luasnya di dalam berbagai lapisan masyarakat Indonesia?
Asal muasal stereotip kecantikan di Indonesia
Pada masa penjajahan Belanda, penduduk Hindia Belanda (alias Indonesia kala itu) terbagi menjadi tiga golongan: golongan Eropa (yang tentunya didominasi oleh warga negara Belanda); golongan Timur Asing (misalnya orang-orang keturunan Arab dan/atau Tionghoa); dan golongan bumiputera (penduduk asli Hindia Belanda). Setiap golongan penduduk pun memiliki tatanan hukumnya masing-masing.
Tatanan hukum yang berlaku bagi golongan Eropa di Hindia Belanda disamakan dengan tatanan hukum yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan golongan Timur Asing dan bumiputera tunduk kepada hukum adat masing-masing.
Perbedaan yang fundamental dan struktural ini tentunya mengundang diskriminasi. Golongan Eropa dipandang sebagai golongan yang lebih unggul dan lebih berkelas. Stereotip kecantikan yang tumbuh saat itu tidak sebatas ‘cantik itu putih’, melainkan ‘cantik itu golongan Eropa yang berkulit putih’. Adapun golongan bumiputera mendapatkan julukan ‘bangsa kuli’. Heartbreaking, isn’t it?
Baca juga: Definisi Cantik Di Mata Si Putih, Kuning Langsat Hingga Sawo Matang
Ketika koloni berubah dari Belanda ke Jepang, konsep cantik menjadi identik dengan kulit putih susu khas Jepang dan tubuh yang ramping. Jepang sendiri memiliki pepatah ‘iro no shiroi wa shichinan kakusu’ yang secara harafiah berarti ‘white skin covers the seven flaws’, alhasil meski seorang perempuan tidak memiliki tampilan fisik yang menarik, ia tetap dianggap cantik apabila ia berkulit putih susu.
Namun, stereotip kecantikan yang berkembang semasa penjajahan Belanda tidak hilang begitu saja. Nyatanya, setelah Indonesia merdeka, perempuan Indonesia yang dianggap ideal adalah perempuan yang terlihat kebarat-baratan alias berketurunan Belanda (dulu biasa disebut ‘Indo’).
Tidak mudah bagi sebuah negara baru untuk membentuk nilai-nilai baru tanpa mengacu pada nilai-nilai yang dianut koloni lamanya. Alhasil, stereotip kecantikan yang muncul hampir sama seperti sebelumnya. Stereotip ‘cantik itu Indo’ dapat dikatakan cukup langgeng, mulai dari era Orde Lama hingga Orde Baru.
Ketika Indonesia memasuki era Reformasi yang memungkinkan arus informasi lebih luas dan terbuka, ‘cantik itu putih’ tidak lagi mengacu pada bangsa tertentu. Bangsa apa pun, selama berkulit putih, maka identik dengan cantik.
Berkulit putih pun kemudian menjamur menjadi cita-cita yang tidak masuk akal.
Baca juga: Kulit Putih Berarti Cantik? Nggak Juga
Sejarah singkat tentang skin whitening
Produk-produk skin whitening bukanlah inovasi abad ke-21, bahkan praktik skin whitening di Asia, terutama Asia Timur, telah tercatat keberadaannya sejak abad ke-16. Cat putih, bedak putih, air beras merupakan sebagian dari produk-produk skin whitening yang digunakan pada zaman dahulu. Adapun Eropa sedikit berbeda dengan Asia, karena di sana yang populer adalah bedak dan Venetian ceruse. Venetian ceruse pada dasarnya merupakan campuran cuka dan timbal berwarna putih yang fungsinya menyerupai foundation. Obviously, not a good mix, and a very dangerous one too, so do not try to create one at home.
Alasan mengapa banyak orang yang menggunakan produk skin whitening adalah karena, kala itu, orang yang berkulit putih dianggap memiliki kelas sosial-ekonomi yang lebih baik, karena mampu memiliki rumah yang dapat menaunginya saat matahari sedang terik-teriknya dan tidak harus bekerja di luar rumah seperti masyarakat saat itu pada umumnya sehingga kulitnya tetap putih.
Praktik skin whitening itu sendiri sesungguhnya terjadi di seluruh belahan dunia sejak ratusan tahun yang lalu; apa yang terjadi di Asia dan Eropa hanyalah setitik gambaran. A global common practice can only mean one thing: a commercial opportunity.
Skin whitening is a huge business. Menurut StrategyR, perusahaan riset pasar yang berbasis di California, Amerika Serikat, pasar global skin whitening memiliki nilai sebesar 8 miliar dolar Amerika pada tahun 2020 dan diproyeksikan akan mencapai 11,8 miliar dolar Amerika pada tahun 2026. Pada tahun 2018, lebih dari setengah pendapatan globalnya berasal dari Asia-Pasifik saja dengan Tiongkok sebagai kontributor terbesar. Mengingat konsumen Asia yang dikenal sangat royal dalam membelanjakan uang untuk skincare, rasanya angka ini tidak terlalu mengejutkan. It is a growing and huge business, indeed.
Dengan pasar yang sebesar ini, tidak heran apabila terdapat banyak pihak yang mengambil keuntungan dengan menghadirkan produk-produk skin whitening yang murah, tetapi mengandung bahan yang berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon. Menurut International Journal of Women’s Dermatology, risiko kesehatan yang dapat ditimbulkan dari pemakaian hidrokuinon antara lain adalah dermatitis dan bahkan kanker.
WHO juga berpendapat bahwa penggunaan merkuri dalam jangka waktu yang panjang sesungguhnya sangat membahayakan kesehatan, karena dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal dan hati atau depresi dan gangguan kecemasan. Sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan, termasuk skincare, BPOM RI pun telah melarang keras penggunaan merkuri dan hidrokuinon dalam produk skincare.
Bagaimana seharusnya kita memaknai ‘cantik’?
“Cantik itu putih” selain menjadi stereotip yang menyakitkan juga merupakan bentuk colourism/warnaisme. Amira Adawe, Executive Director di The Beautywell Project, sebuah lembaga non profit yang memperjuangkan pelarangan praktik skin whitening, mengatakan bahwa, “Unless we change the culture, colourism is going to continue.” Jika kita tidak mengubah budaya (yang berlaku), warnaisme akan terus ada. Perubahan dapat dimulai dari kita, sesederhana tidak lagi mengatakan “Coba kalau kamu putih, cakepan deh” sebagai bentuk basa-basi.
Indonesia adalah negara tropis, sudah sewajarnya kita sebagai orang Indonesia memiliki kulit sawo matang. Kulit sawo matang memiliki pigmen melanin yang lebih tinggi sehingga perlindungan terhadap sinar UV pun lebih tinggi. There is nothing wrong with having tan skin and this is nothing to be ashamed of.
Cantik tidak identik dengan putih. Cantik tidak harus putih. Apa pun warna kulit kamu, kamu cantik apa adanya. Beauty does not exclusively correlate with looks, because it is how you feel inside.
–
Image: Valentina Giarre, Clay Banks, Averie Woodard, Gemma Chua-Tran for Unsplash