banner-detik

health wellness

Mengenal Fenomena Healing ala Gen Z yang Berubah Makna

seo-img-article

Kata ‘healing’ menjadi kata yang sering terucap dan cukup fenomenal belakangan ini, namun merupakan sesuatu yang berubah makna. Apakah kamu salah satu yang sering menggunakan kata ‘healing’ tidak pada tempatnya? Apa itu arti ‘healing’ yang sebenarnya?

 

Pernah dengar atau menyebutkan kalimat seperti, “Healing terbaik adalah makan makanan enak!”, “Aku perlu berlibur ke pantai untuk healing!”, “Sore ini healing ke coffee shop, yuk!”, atau “Dia resign dari kantor dengan alasan ingin healing!”?

Kalau iya, wajar saja, sebab kata ini sedang sangat hits, terutama setahun belakangan. Namun, semakin populer kata ini, maknanya jadi semakin bias. Benarkah setiap orang perlu healing? Apakah kegiatan sangat sederhana juga bisa termasuk dalam kategori healing?

Healing sebenarnya merupakan term yang dipakai untuk penyembuhan dan pemulihan secara general. Sementara, emotional healing menurut Verywellmind adalah sebuah proses mengenali, mempersilakan, menerima, menghubungkan, dan memproses sederet pengalaman menyakitkan dalam hidup serta emosi-emosi yang kuat.

Emotional healing ini tentu membutuhkan waktu, bisa lebih cepat atau lebih lama dari yang kamu bayangkan. Prosesnya juga akan berbeda pada setiap individu, tergantung dari pengenalan diri sendiri, kemampuan mengolah emosi, kemampuan menghadapi tantangan, serta hal-hal yang bisa meringankan perasaan saat ini.

Mau tahu lebih banyak tentang healing dari sisi psikologi? Saya berbincang dengan psikolog klinis dewasa, Nago Tejena, M.Psi, untuk membahas masalah ini. Simak, yuk!

Belakangan ini, ‘healing’ jadi kata yang akrab di kalangan gen Z namun berubah maknanya. Sebenarnya, ‘healing’ yang baik itu seperti apa sih?

“Healing sendiri sebenarnya merupakan proses penyembuhan diri dari berbagai perasaan atau permasalahan  dalam diri yang mengganggu. Entah itu berakar dari trauma di masa lalu, konflik hubungan dengan orang terdekat, serta isu-isu psikologis lainnya.

Tapi, akhir-akhir ini kata ‘healing’ bergeser maknanya ke aktivitas-aktivitas yang kita lakukan untuk menghibur diri dari tekanan yang dihadapi saat ini. Biasanya dengan pergi liburan, jalan-jalan ke Bali, nongkrong di kafe kesukaan, dan lainnya. Sebenarnya tidak masalah ‘healing’ menjadi istilah populer, hanya saja sebaiknya kita bijak memahami perbedaannya.”

Mengingat proses ‘healing’ itu bisa sangat personal bagi setiap orang, apa yang disarankan oleh seorang psikolog agar proses ini berjalan baik?

“Pertama, kita perlu terlebih dulu mengenali diri kita sendiri di saat ini. Perasaan apa yang saat ini sedang mengganggu kita? Apa yang memicu perasaan ini? Lalu, apa yang bisa saya lakukan untuk meredakan perasaan ini sementara? (seperti makna healing yang populer).

Selanjutnya, kita bisa lebih dalam melakukan eksplorasi terhadap diri kita. Dari mana sebenarnya permasalahan ini bermula? Apa sebenarnya harapan saya? Bagaimana cara untuk menyelesaikan isu ini sehingga tidak terulang lagi ke depannya? (seperti makna healing yang sebenarnya).

Jadi, memang dengan mengenali diri sendiri kita bisa jadi lebih tahu kondisi, perasaan, dan kebutuhan masing-masing. Nah, dalam prosesnya, pertemuan dengan psikolog bisa sangat membantu.”

Sejak 2-3 tahun terakhir, sepertinya awareness tentang mental health sudah semakin meningkat, terutama di kalangan anak muda. Apakah banyak yang di antaranya adalah gen Z? Di dunia psikologi sendiri, apakah ada data yang menunjukkan bahwa gen Z ini lebih mudah terpapar gangguan mental?

“Berkat kemajuan teknologi dan penyebaran informasi yang begitu pesat, masyarakat sekarang menjadi lebih aware akan isu kesehatan mental yang ada. Terutama gen Z, sebagai generasi yang merupakan digital native, mereka akan menjadi orang pertama yang mendapatkan informasi dan menyadari apabila ada yang tidak beres pada diri mereka.

Sebenarnya permasalahan gangguan mental pasti ada dari generasi ke generasi, hanya saja bentuk dan tingkat awareness tiap generasi berbeda. Berdasarkan berbagai temuan artikel dan penelitian, gen Z memang dinilai lebih mungkin untuk menyampaikan keluhan akan permasalahan mental yang dimiliki.”

Menghadapi fenomena gen Z yang mudah burn out dan fear of missing action (FOMO), ada nggak tips yang bisa diterapkan oleh muda-mudi ini untuk mengatasinya?

“Ironisnya, akar dari banyak fenomena permasalahan psikologis yang muncul akhir-akhir ini juga berasal dari kemajuan teknologi dan penyebaran informasi yang tinggi. Seiring masyarakat kita semakin terhubung satu sama lain, kita sebagai individu bisa mendapatkan terlalu banyak exposure akan informasi-informasi atau hal-hal yang mungkin tidak sepenuhnya sehat untuk mental kita. Memberi jeda sangatlah penting. Beristirahat dari media sosial bisa sangat membantu dari kondisi seperti draining, anxious, atau perasaan butuh ‘healing’.

Burn out bisa muncul apabila kita terus menerus menuntut diri untuk mengejar standar pencapaian yang tidak sesuai dengan diri kita. FOMO bisa muncul apabila kita juga memaksa diri untuk terus mengikuti tren atau perkembangan dunia yang ada. Jadi, memang harus dikaji lagi, sebenarnya apa yang kita butuhkan dan inginkan? Sesuaikan juga goals dengan kemampuan diri, jadi tetap harus realistis.

Secara perlahan, penting bagi kita untuk menyeleksi informasi mana yang perlu kita lahap dan yang mana tidak. Seperti memilih makanan di restaurant all-you-can-eat, tentu kita tidak bisa serakah untuk mengonsumsi semuanya.”

Baca juga: Rekomendasi Film dan Serial tentang Mental Health yang akan Mengubah Cara Pandang Kamu

Menurut Kak Nago, gimana caranya agar gen Z tidak malu untuk konsultasi ke psikolog dan psikiater, dan apa akibatnya kalau hanya self-diagnosed saja?

“Do it for you. Pertolongan profesional bukanlah suatu kewajiban yang kita harus lakukan karena kita gagal sebagai manusia. Pertemuan dengan profesional merupakan cara kita untuk lebih mengenal diri dan melakukan apa yang terbaik untuk hidup kita sendiri. Diagnosa hanyalah tools yang digunakan profesional untuk bisa mengetahui arah treatment yang diharapkan cocok. Tapi, tanpa ada tindak lanjut treatment, diagnosa tidak ada gunanya.”

Baca juga: Merayakan Hari Pencegahan Bunuh Diri: Menjaga Mental Health Selama Pandemi

Nah, kini kamu jadi lebih tahu tentang healing, kan? Bukanlah sekadar ‘bahasa kekinian’ atau kesenangan sesaat, healing memiliki makna yang lebih dalam, dan bisa kamu wujudkan dengan proses yang kamu nikmati. Semuanya butuh waktu, termasuk mengenali diri sendiri, jadi take your time. Ketika kamu sudah lebih tahu apa yang kamu rasakan, tahu kondisi mental kamu saat ini, dan kenal detail-detail unik lainnya tentang kepribadianmu, kamu jadi lebih tahu konsep healing seperti apa yang kamu butuhkan.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang Nago Tejena, jadwal konselingnya, dan mendapat inspirasi terkait mental health, kamu bisa follow Instagram dan Twitter @nagotejena .

 

Image: Freepik, dok. Nago Tejena.

 

Slow Down

Please wait a moment to post another comment