health wellness
11 Sep 2020
Hari Pencegahan Bunuh Diri: Menjaga Mental Health Selama Pandemi
In case nobody told you yet, I’m happy you’re still here and alive today.
Nggak terasa tahun 2020 sudah tinggal tiga bulan lagi. Hampir setahun kita habiskan di rumah saja. Bagi banyak orang tentu rasanya nggak mudah. Bukan sekadar bosan atau kangen jalan-jalan keluar saja yang dirasakan. Keadaan yang bikin semuanya serba nggak pasti bisa memicu munculnya kecemasan atau anxiety. Belum lagi yang harus tinggal sendirian dan merasa terisolasi saat jauh dari support system, atau justru harus bertahan dalam abusive household 24/7. Kadang rasanya memang terlalu berat dan sering ingin menyerah saja. But hey, if you’re still reading this, that means you’re still here and alive. And I am so so proud of you.
Did you know? Bulan September adalah Suicide Prevention Month atau Bulan Pencegahan Bunuh Diri dan tanggal 10 September merupakan Hari Pencegahan Bunuh Diri. Ngomongin soal bunuh diri, as much as I don’t like saying it, ini bukan lah hal yang asing lagi buat saya. Topik yang bagi banyak orang susah buat diomongin karena masih menempel sama stigma-stigma negatif. Instead of receiving help, suicidal people are often shamed and stereotyped. Padahal salah satu step penting untuk mencegahnya terjadi adalah dengan diomongin. Nggak semua orang yang suicidal punya ‘gejala’ yang kasat mata. It’s important to raise awareness by starting conversations about it.
Mengakhiri hidupmu bukan satu-satunya jalan keluar dan bisa dicegah.
Seek help
Seeking help may not be as easy as it seems, but it can change everything. Ngomonginnya saja susah banget, I totally get it. Saya sendiri juga baru beberapa bulan terakhir ini memberanikan diri buat cerita ke sahabat terdekat. Yes, even after almost 10 years of friendship, my friends never knew I’ve been suicidal karena seringnya saya kelihatan baik-baik saja. Di suatu poin saya merasa sudah nggak bisa lagi, saya memutuskan untuk ke psikiater. Your life is a serious matter. Minta bantuan ke psikolog atau psikiater adalah hal yang normal dan perlu dilakukan.
Healing process setiap orang berbeda. And it’s okay!
Sebagai orang yang sering anxious dan overthinking, saya kadang berpikir takut di-judge: “Katanya sudah ke psikiater, kok masih ABCD?”. Tapi pelan-pelan saya belajar dan menerima kalau healing process setiap orang berbeda-beda, speed-nya nggak sama. And it’s okay! We are all a work in progress. Mungkin sudah berbulan-bulan semuanya rasanya baik-baik saja, tapi masih datang hari-hari yang berat di mana suicidal thoughts itu mampir lagi. Cerita ke orang yang kamu percaya, go to your therapist, cari coping mechanism yang positif.
You can find healing anywhere. Belum lama ini, saya nonton Instagram Story Nathanie Christy yang cerita kalau dia menemukan healing dari crystals, kemudian dijulidin salah seorang netizen karena nggak ada scientific proof kalau crystals punya manfaat healing. Nathanie lalu membalas: “Kalau memang nggak ada scientific proof-nya, tapi aku merasa healed, ya nggak apa-apa dong? Masa kalau ada orang yang cerita merasakan healing dari makan bakso karena bisa mendatangkan pikiran positif, kita bilang “Nggak bisa begitu, nggak ada scientific proof kalau makan bakso itu healing!”
Healing buat setiap orang bisa beda-beda caranya. Yang penting kita yang merasakan healed, bukan opini orang lain. Buat saya healing bisa datang dari pakai skincare dan mendengarkan musik favorit, mungkin buat kamu healing justru datang dari melukis atau merawat tanaman. Don’t shame people for having different healing methods. Apa pun itu valid selama membawa efek positif buat dirimu.
If you’re having a hard time and you’re reading this, please believe that brighter days will come. Thank you for making it this far. Thank you for choosing to stay.
foto: dok. Freepik & @RealDepressionProject