lifestyle
14 Jun 2022
Gen Z dan Obsesi Hustle Culture, Produktif atau Toxic?
“Sukses pasti datang dari kerja keras”, tapi antara ambisius dan maksa jadi nggak ada batasnya. Makin produktif atau sebetulnya toxic, hustle culture di kalangan Gen Z?
“Hustle culture” , sebuah istilah yang jauh dari asing terutama di kalangan gen Z. Sebuah mentalitas atau mindset yang mengacu pada konsep bahwa seseorang harus bekerja keras sepanjang hari, setiap hari, agar mencapai tujuan profesional mereka. Secara simpel, it’s all about constantly working. Sering disebut sebagai “Burnout Culture” atau “Toxic Productivity”, lifestyle ini dengan cepat diterapkan oleh banyak orang terutama gen Z. Kenapa?
The big question of “why?”, menjadi sesuatu yang saya sebagai gen Z, kerap pertanyakan kepada teman-teman sekitar. Kenapa kita menjadi generasi yang gila kerja? Beberapa alasan mungkin bisa menjawab, mulai dari keinginan besar untuk mencapai karir atau kondisi finansial yang diinginkan, sampai ke pengaruh sosial.Lucunya, saat saya banyak membaca tentang gen Z dan hustle culture, kebanyakan artikel dan konten yang muncul selalu bersifat negatif.
Jadi, sebetulnya produktif atau toxic-kah penerapan hustle culture di lingkungan gen Z?
Baca juga: Hustle Culture Menjadi Penyebab Burnout, Ini Cara Mengatasinya
“Work harder, faster, longer.”
Setelah saya perhatikan, kebanyakan teman-teman saya selalu mengerjakan sesuatu bahkan di luar jam sekolah atau kuliah. Entah ikut organisasi, magang di dua tempat secara bersamaan, kerja freelance, sampai buka bisnis sendiri. Seakan-akan seperti tidak boleh ada waktu ‘menganggur’. Saya sadar gaya hidup ini dengan cepat menormalisasikan cara bekerja yang lebih keras, lebih cepat, dan lebih lama. Memang betul, at the end of the day, bekerja keras akan membawa kesuksesan untuk kehidupan profesional. Apalagi untuk para gen Z yang baru lulus kuliah, membuktikan bahwa mampu adaptasi di lingkungan kerja sudah jadi sesuatu yang esensial.
Baca juga: Sering Overthinking? Ini 4 Cara Mengatasinya
Well, nggak bisa dipungkiri kalau saya sebagai gen Z juga adalah pengikut dari hustle culture ini. Menurut perspektif saya, semua hal selalu ada sisi baik dan buruknya. Dengan adanya gaya hidup ini, secara tidak langsung saya selalu merasa termotivasi untuk mencoba berbagai hal baru, tidak malas, dan melatih kemampuan diri.
Namun, ada batas tipis antara motivasi dan pressure. Ketika saya mencoba beristirahat dan tidak mengerjakan apa-apa, selalu ada rasa resah dan bersalah, apalagi mengetahui bahwa di waktu tersebut saya bisa saja mengerjakan sesuatu. Momen-momen seperti inilah yang membuat saya sadar kalau budaya ini sudah mendarah daging di generasi muda masa kini dan orang-orang yang terlibat di fast-paced-working environment.
Baca juga: Apakah Tren “Pick Me Girl” Adalah Produk dari Budaya Misogini dalam Masyarakat Kita?
Kenapa gen Z banyak yang terjebak hustle culture?
Hard working atau working hard? Lagi-lagi, ada batasan tipis antara bekerja keras dengan hustle culture. Terlalu tipis sampai mungkin beberapa orang salah menginterpretasikan sifatnya yang menerapkan hustle culture sebagai sekedar kerja keras saja. Untuk alasan kenapa gen Z banyak yang terjebak ke budaya ini tentu bervariasi, namun ada beberapa faktor yang menurut saya berkontribusi besar dalam mendewakan hustle culture.
Dengan semua perkembangan yang ada, resources dan kesempatan untuk memulai sesuatu jadi semakin gampang ditemukan. Ingin belajar desain? Bisa buka YouTube. Belajar buka bisnis? Bisa ikut seminar. It’s highly possible to learn everything because everything is just one click away. Terutama sejak pandemi mulai, bekerja dari manapun dan kapanpun menjadi sesuatu yang dinormalisasikan. Hal-hal seperti ini membangun sebuah pemikiran bahwa mencari sebuah pengalaman atau sumber uang lain itu sangatlah achievable. Alhasil, orang-orang yang tidak terlibat apapun diluar pekerjaan utama sesimpel sebagai pelajar saja, menjadi makin dipertanyakan.
Namun terlepas dari itu semua, gen Z memang dikenal sebagai generasi yang kompetitif. Dengan banyak orang turut melakukan segala macam hal baru, membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain seperti sudah menjadi rutinitas sehari-hari.
“Wah, dia udah jadi ini,” “Dia keterima kerja disitu,”, tekanan untuk mencari ‘identitas’ kita di dunia pekerjaan semakin menggumpal. Saya pernah nonton satu video TikTok menarik, yang menjelaskan bahwa salah satu alasan kenapa gen Z terobsesi dengan hustle culture adalah karena cara pikir kita yang serba cepat. Ingin melakukan semuanya, secepatnya. Salah satu penyebabnya? Dunia digital yang perubahannya juga nggak kalah cepat. Coba kamu lihat tren-tren yang sering bermunculan. Muncul hari ini, dua minggu lagi sudah ganti, and it goes on and on like that. Hasilnya, kita jadi terbiasa dengan semua yang cepat berganti secara konstan. It makes us all eager and adaptable, dan selalu mencari hal-hal baru untuk dikerjakan.
Baca juga: Ini Bahaya Hustle Culture Zaman Sekarang
Jadi, produktif atau toxic?
Dengan segala keunggulan yang ditawarkan hustle culture, di akhir hari budaya ini tetap rentan dengan toxic productivity. Hustle culture menjual ‘kesuksesan’ dengan anggapan bahwa itu hanya akan tercapai dengan bekerja sebanyak mungkin. Nyatanya, kebiasaan ini mengarah besar ke kesehatan mental yang rendah, burnout, stres, bahkan depresi. Selain toxic untuk diri sendiri, hustle culture secara tidak langsung juga membangun sebuah standar sosial dan standar pengukuran produktivitas seseorang. Dengan semua orang bekerja sana sini, orang-orang yang “tidak atau belum melakukan apa-apa” jadi terkesan salah atau malas.
Sama halnya saat kita dandan, menurut saya yang terpenting adalah balance. In this case, penting banget untuk menentukan work-life balance yang efisien. Tentu kamu boleh bekerja sebanyak mungkin, namun kamu juga harus ingat bahwa kamu juga boleh kok untuk beristirahat sejenak. Sometimes it’s okay simply not to do anything. Namun selama obsesi kamu untuk hustle masih sehat, you do you. Kerja untuk hidup, jangan hidup untuk kerja!
Image : Freepik & Dok. Female Daily.