banner-detik

backstage beauty

Beauty Brands Kena Boikot, Bukti Konsumen Peduli Banyak Hal Selain Produk

seo-img-article

Untuk memperoleh kepercayaan konsumen, produk yang canggih atau warna cantik saja ternyata tidak cukup. Beberapa boikot ini menjadi buktinya.

Sudah sempat dengar kabar Glossier yang di-call out secara anonim oleh mantan karyawan-karyawannya atas tuduhan praktik internal yang rasis? Viralnya berita tersebut ditanggapi dengan sentimen negatif dari para pencinta makeup yang terlihat dari komentar-komentar seperti “No more Glossier for me then” dan “Thank you for educating us! Definitely will not spend $ here!” di sebuah video TikTok yang menjabarkan kasus ini.

Selain Glossier, ada sejumlah beauty brands lainnya yang mengalami kasus kena boikot serupa. Tentu, dengan semakin bertumbuhnya brand, semakin terang pula lampu sorot yang menyinari mereka. Tapi kalau konsumen sampai menyuarakan niat mereka untuk memboikot brand tersebut, bahkan meng-encourage orang lain untuk melakukan hal yang sama, fenomena ini bukan lagi persoalan mengenai risiko popularitas tapi juga semakin selektifnya konsumen mengenai perusahaan-perusahaan yang mereka dukung.

Baca juga: Glossier Terpaksa Memberhentikan Lebih Dari 80 Orang Karyawannya

Di bawah ini, FD sudah merangkum beberapa kasus beauty brands ternama yang sempat kena boikot. Dari kasus-kasus ini, kita dapat melihat aspek-aspek apa aja sih yang dipedulikan konsumen dalam menyatakan dukungan terhadap beauty brands, selain produk itu sendiri.

Shade tunggal Hourglass

Pada November 2020, Hourglass merilis ulang salah satu produk favorit mereka yang direformulasi, yaitu face palette Illume Sheer Color Trio yang sempat tidak tersedia sejak 2019. Hasil reformulasi ini tidak berbuah tanggapan baik. Editor in Chief media Temptalia, Christine Mielke menyampaikan kekecewaannya melalui sebuah tweet: “This is a permanent, core product, so to take time to formulate it and not also extend the shade range?” Christine menyebut bahwa ia jadi enggan untuk me-review produk-produk Hourglass sejak saat itu.

Deklarasi publik Christine Mielke menginspirasi influencer lain, termasuk makeup artist dan YouTuber Samantha Ravndahl. Dengan platform besar dan kredibilitas tinggi keduanya, banyak pengguna makeup yang mulai tidak mempercayai Hourglass, terutama bagi mereka yang menganggap inklusivitas dalam industri kecantikan itu penting adanya.

Glossier, rasisme, dan lingkungan kerja toxic

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Outta The Gloss (@outtathegloss)

Pada Agustus 2020, muncul sebuah akun dengan username @outtathegloss, sebuah plesetan dari nama beauty media yang menaungi Glossier yaitu Into The Gloss. Akun ini diinisiasi oleh lebih dari 50 mantan karyawan Glossier yang bergabung secara kolektif dan menyuarakan pengalaman-pengalaman tidak mengenakkan mereka selama bekerja di Glossier.

Jika dirangkum dan disimpulkan secara keseluruhan, keresahan dari para Editors (sebutan untuk para pekerja di toko ritel Glossier) mencakup tindakan serta perbuatan yang rasis dari pihak manajemen, lingkungan kerja yang tidak nyaman dan tidak higienis, kesenjangan upah yang cukup tinggi, serta perbuatan tidak menyenangkan bagi mereka yang berani bersuara mengenai isu internal perusahaan.

Baca juga: Olivia Rodrigo Jadi Brand Ambassador Glossier yang Pertama

Kat Von D yang anti vaksin

Mundur sedikit ke 2018, Kat Von D yang sedang mengandung sempat membuat pernyataan lewat akun Instagram pribadinya bahwa ia akan membesarkan anaknya dengan gaya hidup vegan dan tanpa vaksin.

Sikapnya yang anti vaksin ini membuat image Kat Von D sebagai sosok yang tidak bertaggug jawab, sehingga membuat banyak penggemarnya memutuskan untuk memboikot beauty brand miliknya.

Review palsu Sunday Riley

Pada tahun yang sama dengan kasus Kat Von D, terungkap peraturan internal Sunday Riley yang mengharuskan pekerjanya untuk mempublikasikan paling sedikit 3 review untuk salah satu produk mereka. Bahkan, manajemen Sunday Riley sampai memberikan arahan hal-hal apa saja yang perlu ada dalam review mereka tersebut. Tidak tanggun-tanggung, para karyawan juga diajari cara menyembunyikan IP address mereka agar menghilangkan jejak para karyawan yang membuat review tersebut.

Informasi ini bocor melalui forum Reddit oleh salah satu mantan karyawan yang menyebarkan bukti e-mail manajemen terkait kebijakan membuat review palsu tersebut. Sunday Riley telah mengakui bahwa e-mail tersebut benar adanya, mengakui kesalahn mereka dan meminta maaf atas perbuatan tersebut.

Kesimpulan


Selain 4 contoh di atas, masih banyak kasus lainnya yang akhirnya membuat konsumen memutuskan untuk memboikot. Bahkan beberapa kasus juga sempat terjadi di Indonesia dan membuat beberapa nama brand lokal menjadi kehilangan respek dari para beauty entushiast. Dengan adanya boikot yang dilakukan oleh konsumen terhadap beberapa beauty brand ini membuktikan bahwa, produk dengan formula yang canggih atau warna yang cantik tentu menarik, tapi untuk menjadi beauty brand yang dipercaya ternyata butuh usaha dan komitmen yang lebih gigih. Mulai dari pemilik, manajemen, community representation, hingga kebijakan-kebijakan yang melatarbelakangi kinerja brand tersebut.

Kalau buat kamu sendiri, value apa sih yang kamu anggap penting untuk dijalankan oleh beauty brands agar kamu tetap mau terus mendukung dan memakai produk mereka? Coba komentar di bawah ya!

 

Images: Sandra Seitamaa for Unsplash, brands.

Slow Down

Please wait a moment to post another comment