backstage beauty
30 Apr 2022
Apakah Biodegradable Ingredients Lebih Ramah Lingkungan?
Benarkah material biodegradable akan lebih baik untuk lingkungan kita? Simak research saya di sini.
Selain khasiat produk dan harga, dampak suatu produk terhadap lingkungan sudah mulai jadi pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan. Mulai dari packaging yang terbuat dari bahan hasil daur ulang, hingga tumbuhan atau material lainnya yang diklaim biodegradable. Namun apa benar material biodegradable jadi opsi yang lebih baik bagi lingkungan?
Sebelum mengetahui jawabannya, pertama-tama mari kita pahami material seperti apa sih yang bisa disebut biodegradable. Secara definisi, biodegradable merujuk pada material yang dapat terurai oleh bakteri atau organisme hidup lainnya secara alamiah sehingga tidak menumpuk pada daratan atau perairan.
Kalau dibandingkan dengan plastik biasa yang butuh waktu hingga 1000 tahun untuk terurai, tentu material yang biodegradable jadi solusi yang jauh lebih menjanjikan dalam mengurangi timbunan sampah dari industri kecantikan. Namun ternyata, nggak semua yang berlabel biodegradable serta-merta lebih baik bagi lingkungan. Ini alasannya.
Baca juga: Adakah Sheet Mask yang Lebih Ramah Lingkungan?
Biodegradable ≠ compostable
Istilah biodegradable seringkali dianggap sama dengan istilah compostable. Meski definisinya sebelas dua belas, yaitu merujuk pada material-material yang dapat terurai, proses keduanya berbeda. Dampaknya terhadap lingkungan? Berbeda pula.
Proses biodegradasi terjadi secara alami dengan bantuan mikroorganisme seperti bakteri dan jamur. Meskipun terbuang, material yang biodegradable akan hilang dengan sendirinya dan berakhir menjadi komponen-komponen sederhana seperti biomassa, karbon dioksida, dan air, Dedaunan yang jatuh misalnya, dapat terurai sendiri tanpa bantuan manusia setelah 1 tahun, atau bisa lebih cepat jika ada peran cahaya dan oksigen.
Nah, bedanya dengan compostable, proses terurainya perlu ada campur tangan manusia dan dikondisikan sedemikian rupa, tidak terjadi dengan sendirinya. Prinsipnya sama dengan prinsip mengompos di rumah yang selain butuh material hijau seperti sisa sayuran dan buah-buahan, juga butuh material cokelat seperti daun kering, sekam mentah, sekam matang, ranting, dan lain-lainnya.
Baca juga: Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Daur Ulang Produk Kecantikan
Meski serupa, ternyata keduanya tidak sama kan kalau diliat dari prosesnya? Jadi, jika kamu membeli produk dengan klaim compostable, kamu harus secara aktif mengolah material tersebut dengan cara mencampurkannya dengan bahan-bahan organik kering lainnya, mengatur sirkulasi udaranya, mengaduknya secara berkala, baru deh akhirnya benar-benar terurai dan dapat digunakan sebagai pupuk.
Jika suatu material sifatnya compostable tapi tidak dikelola sesuai dengan prosedur pengomposan, material tersebut tetap tidak akan terurai. Kalau begitu, bahan-bahan yang biodegradable lebih terjamin terurai dong? Lalu apa masalahnya?
Kondisi lingkungan seringkali tidak memadai
Syarat utama untuk suatu bahan agar dapat terurai secara alami adalah kehadiran bakteri atau organisme lainnya, serta oksigen untuk mempercepat prosesnya. Nyatanya, kita tidak bisa menjamin bahwa kemasan biodegradable dari makeup atau skincare yang kita buang berada di tempat yang 100% memenuhi syarat, kan? Belum lagi kalau tercampur dengan bahan-bahan yang tidak mampu terurai lainnya.
Selain perlu oksigen dan bantuan bakteri dan organisme lain, bahan yang biodegradable juga membutuhkan panas yang tinggi. Indonesia memang beriklim tropis dengan matahari yang dapat hampir selalu dipastikan kehadirannya, tapi kalau bahan yang biodegradable ini tertumpuk dengan sampah lain, tentu tidak akan mendapat panas matahari yang dibutuhkan agar dapat terurai. Ditambah lagi, menurut laporan United Nation, bahan yang biodegradable ini tidak akan cepat terurai kalau sampai bocor ke laut.
Other ingredients matter
Sisa-sisa makeup atau skincare di kemasan yang biodegradable sekalipun, kalau tidak dicuci bersih, dapat memengaruhi kondisi ekosistem juga. Ingredients produk kecantikan yang dijual di pasaran memang aman bagi kulit wajah, tapi belum tentu bagi lingkungan. Ada beberapa ingredients yang punya potensi menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti hasil olahan petroleum dan bahan wewangian lainnya.
Di balik khasiat dan aroma yang menenangkan dari essential oil juga diperlukan ekstraksi dari tumbuhan dalam jumlah banyak. Melihat dari sudut pandang ini, membeli dan mengonsumsi produk yang dikemas dalam kemasan biodegradable tidak 100% sustainable, jika ingredients di dalamnya juga punya dampak negatif terhadap lingkungan.
Kesimpulannya?
Beberapa penjabaran di atas menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya material yang digadang-gadang biodegradable itu baik bagi lingkungan. Tapi kalau selama ini klaim biodegradable selalu berhasil membuat kamu tergiur untuk check out produk-produk kecantikan, nggak perlu berkecil hati atau merasa usahamu sia-sia. Kabar baiknya, bahan-bahan yang biodegradable ini umumnya memiliki jejak karbon yang lebih rendah dalam proses produksinya. And that counts, too. After all, sustainability is never only about eliminating waste.
Satu hal yang bisa kamu lakukan adalah tetap rajin-rajin memilah sampah produk kecantikan sesuai dengan kategorinya, supaya bahan yang biodegradable tidak terganggu proses degradasinya karena tercampur dengan jenis sampah lain. Kuncinya tetap ada pada waste management yang baik dari diri kita sendiri.
Terlepas dari semua itu, yang paling penting adalah pembelian dan penggunaan produk yang mindful. Pelajari lebih dahulu produk yang kamu ingin beli supaya sesuai dengan kondisi kulitmu sehingga tidak terbuang dan benar-benar dapat terpakai. Biasakan juga pakai produk sampai habis. Selain itu, yang paling penting adalah, kita perlu tahu kapan harus merasa cukup. Di tengah banyaknya produk yang rilis dan godaan potongan harga, know when to stop buying new products and finish what you have started instead.