Hampir dua tahun menjalani terapi untuk depresi, saya belajar kalau self-healing nggak selalu mudah dan menyenangkan.
Akhir-akhir ini, saya lagi sering banget menjumpai istilah ‘self-healing‘ dipakai di berbagai konten sosial media, khususnya Instagram dan Tik Tok. Kebanyakan isinya adalah dokumentasi liburan atau staycation untuk melepas stress, pergi sejenak dari suasana pandemi. Seperti arti harfiah dari kata ‘healing’, tujuannya adalah untuk penyembuhan atau memulihkan kondisi mental kita. Terminologi yang sebelumnya juga sering dipakai adalah ‘self-care’. If you do have the means, boleh banget sesekali pergi berlibur dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Tapi saya yakin nggak semua orang bisa ‘self-healing‘ dengan pergi liburan kan? Lagi pula, liburan juga hanya bisa dilakukan sesekali. Self-healing is a process that takes time.
Baca juga: Mengerti Mental Health dan Cara Menghadapinya
Lalu apa saja yang bisa kita lakukan untuk tetap bisa menjaga kesehatan mental? Setelah hampir dua tahun didiagnosa dengan depresi klinis dan menjalani terapi, saya belajar kalau self-healing itu caranya beragam dan nggak selalu menyenangkan seperti pergi berlibur. Kadang ada hari-hari yang rasanya berat sekali, tapi kalau nggak melakukan self-healing ini, efek negatifnya bisa jadi lebih besar.
Ketika kamu merasa ada yang nggak beres dengan kesehatan mentalmu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah acceptance, atau lebih spesifiknya radical acceptance. Dikutip dari buku Radical Acceptance: Embracing Your Life With the Heart of a Buddha karya Tara Brach, “Radical acceptance does not mean self-indulgence or passivity. Instead it empowers genuine change: healing fear and shame and helping to build loving, authentic relationships. When we stop being at war with ourselves, we are free to live fully every precious moment of our lives.”
Menyadari dan menerima kalau kita sedang tidak baik-baik saja bukan berarti jadi pasrah dan nggak melakukan apa pun. Radical acceptance justru bisa membantu kita mencari solusi untuk menjalani hidup dengan lebih baik dan tentunya membantu kita untuk pulih.
Baca juga: Tentang Depresi: Lebih Baik Pergi ke Psikolog atau Psikiater? | Cerita FD
Ketika beban kehidupan yang kita hadapi sudah dirasa terlalu berat, kita boleh mencari bantuan. Trust me, dalam praktiknya, meminta bantuan seseorang itu nggak mudah. Biasanya terhalang oleh inner child kita yang takut menyusahkan orang lain atau malah sulit percaya orang lain. Tapi tentunya hal ini bisa dilatih. Mulai pelan-pelan. Komunikasikan kalau kita memang sedang mengalami kesulitan. Giving people the silent treatment is a big no. Kita bisa mulai dari orang yang terdekat dan memang kita percaya sebagai safe-space.
Bila beban mentalmu sudah nggak bisa ditanggung sendiri, jangan ragu untuk meminta pertolongan profesional, ya.
Step yang satu ini seperti klise banget ya? Padahal meski pun sederhana, makanan yang kita konsumsi sangat bisa berpengaruh pada kesehatan mental. Sebelumnya saya juga pernah ngobrol dengan seorang psikolog untuk artikel tentang stress-eating. Ketika kita dalam emosi negatif, bisa muncul cravings terhadap makanan yang nggak sehat, biasanya yang manis atau berlemak. Stress-eating ini bisa jadi siklus yang berulang karena menimbulkan adiksi.
Padahal, saya sempat dijelaskan oleh dr. Jiemi Ardian Sp. KJ, bahwa makanan dengan kadar gula dan lemak tinggi membuat tubuh kita rentan terhadap inflamasi. Dan apa efek selanjutnya? Inflamasi di tubuh bisa berimbas juga ke kesehatan mental.
Meski pun terasa sulit, yuk coba untuk cari tahu dan ubah pola makan yang lebih baik untuk tubuh.
Baca juga: Tentang Over-eating dan Menerapkan Mindful Eating Selama Lockdown
Pasti sering dengar frasa “treat yourself” kan? Biasanya treating ourselves identik dengan memanjakan diri. Tentu sah-sah saja. Diri kita butuh istirahat, butuh hiburan, dan senang kalau bisa beli suatu barang dari wishlist. Tapi ada saatnya memanjakan diri ini jadi keterusan dan malah mengarah ke sisi yang negatif.
Penting banget untuk melatih self-control dan membuat personal boundaries. Mengerjakan tugas dan istirahat yang berkualitas di saat yang tepat juga termasuk bagian dari self-healing.
Lingkungan toxic bisa membuat diri kita terjebak dalam emosi negatif terus menerus. Toxicity ini bisa muncul dari pasangan, teman, keluarga, rekan di kantor, bahkan strangers on social media! Meninggalkan lingkungan toxic adalah bentuk dari menghargai diri sendiri. We deserve to be in a healthy environment.
Can we be toxic to ourselves? Bisa. Ini yang suka luput dari kesadaran kita. Sering mengatakan hal-hal buruk ke diri sendiri ketika mengalami kegagalan, nggak mau menerima kesalahan dan belajar untuk memperbaiki diri. Kebiasan-kebiasaan seperti ini juga termasuk menempatkan diri kita dalam lingkungan toxic, lho. Solusinya ada di poin ke-tiga: maintain self-control and set personal boundaries.
Baca juga: Kapan Self Love Menjadi Toxic?
Ketika dilakukan, tentu akan ada momen-momen yang terasa amat sulit. We’re not only battling with other people, but also ourselves. Satu hal yang perlu diingat, kita nggak sendirian di dunia ini. Me and you, we don’t have to go through this alone. Kita butuh support dari orang lain. It’s okay to admit that we need help. Meminta dukungan dan bantuan dari orang lain bukan berarti kita lemah.
Be kind to yourself and everyone around you. Happy World Mental Health Day! I hope you become a boat between high waves.
images: freepik