“I can’t let go of my phone. Sleep just isn’t coming to me.
So I’m on Instagram, Instagram again.”
Pernah dengar penggalan lirik lagu di atas? Yup, ini adalah lirik lagu ‘instagram‘ dari penyanyi R&B asal Korea Selatan, Dean. Saat menuliskan lagu ini, Dean merasa terlalu sering main Instagram bisa bikin dia depresi, susah tidur, overthinking, dan justru merasa terisolasi. Relatable nggak buat kamu?
Bagi banyak orang, main sosial media seperti Instagram bisa jadi hiburan setelah penat beraktivitas. At some point, bahkan bagi saya scrolling feed, mainan filter, dan nonton Instagram Story sudah jadi semacam coping mechanism selama tiga bulan di rumah saja dan nggak bisa beraktivitas normal di luar.
Awalnya memang seru sih, tapi lama-lama bukannya menghibur diri, saya jadi merasa suka oversharing yang berujung pikiran saya malah jadi dibebani banyak ‘What if’s. ‘What if they think I’m weird?’, ‘What if they think I talk too much?’. Saya jadi terobsesi keeping count sama siapa saja yang sudah lihat IG Story saya. Kalau views-nya berkurang, langsung kepikiran ‘What did I do wrong this time?’. Nggak jarang saya juga menghapus post nggak lama setelah di-upload karena overthinking, merasa ada yang salah. Ditambah lagi suka ada DM dari strangers yang bersembunyi di balik akun palsu buat komentar negatif. Saya jadi terobsesi mencari kekurangan dalam diri saya dan seolah mencari validasi dari orang nggak dikenal. So exhausting! Mereka saja nggak kenal saya di dunia nyata, but I let them live in my head RENT FREE.
Baca juga: Do’s and Don’ts Oversharing di Sosial Media!
Buat banyak orang, mungkin gampang ya nggak mempedulikan kata-kata dari strangers, tapi saya memang punya overthinking tendencies. Belum lagi ditambah rasa terisolasi selama PSBB ini. Semakin gampang lah pikiran saya pergi ke mana-mana. My anxiety level was off the roof! Hal ini bikin saya super nggak nyaman serta jadi ingin menarik diri untuk rehat sejenak dari nge-post konten apa pun di Instagram. Perhaps I really did need this break to take care of my mental health. So I quit Instagram for 10 days.
Mungkin banyak yang berpikir break Instagram selama 10 hari nggak ada apa-apanya. Tapi buat saya yang bergantung sama Instagram untuk urusan hiburan dan kerjaan, 10 hari rasanya cukup lama! Awalnya saya mulai dari menghapus aplikasi Instagram selama tiga hari supaya nggak tergoda. It went well. Tapi saya jadi kangen juga ngobrol sama beberapa teman yang memang biasanya memang lebih responsif di DM Instagram. Jadi saya re-install aplikasinya dan tetap berhasil nggak nge-post apa-apa selama tujuh hari kemudian.
Apa sih yang saya pelajari dari break Instagram ini?
Baca juga: Mengerti Mental Health dan Cara Menghadapinya
Salah satu kebiasaan buruk yang (saya pikir) susah saya hilangkan adalah perilaku impulsif. I suck at having self-control! Or so I thought. Tapi dari 10 hari puasa Instagram ini, saya belajar ternyata saya bisa kok menahan diri kalau memang mau berusaha. ‘Tahan, Andien. Kamu nggak perlu nge-post tentang A sampai Z!”.
Masih ingat sebelumnya saya menyebutkan tentang oversharing? Saya memang suka kebablasan oversharing, tapi nggak sebenarnya terbuka dan vulnerable. Saya cuma sering ngomongin hal-hal yang trivial. Kalau ada masalah yang lumayan serius, biasanya saya pura-pura lupain saja. Nah, dari puasa Instagram ini, saya jadi belajar lebih sering ngobrol in real life sama orang-orang yang memang kenal saya dan lebih terbuka. Dengan cara ini, saya jadi lebih belajar menyadari dan menerima emosi yang sedang saya rasakan. We are not our thoughts. We are not our emotions.
Nggak langsung membaik 180 derajat tentunya. It’s real life, not a rom-com flick. Saya nggak tiba-tiba kayak terlahir kembali jadi orang berbeda yang super zen LOL. I’m still the same person, but I did made progress. Dari break ini saya jadi belajar untuk nggak menghabiskan terlalu banyak waktu memikirkan hal-hal yang nggak semestinya dipikirkan dengan mengindari trigger-nya.
Baca juga: Mengenal Bahaya Hate Comments Terhadap Kesehatan Mental
Of course not. Saya nggak mungkin benar-benar meninggalkan Instagram karena seperti sudah saya bilang sebelumnya, saya juga butuh untuk urusan pekerjaan. Jadi saya mulai kembali pelan-pelan dengan nge-post di Close Friends dulu yang isinya memang hanya orang-orang yang saya kenal atau at least saya merasa nyaman. Lalu buat ~general public~ saya hanya sharing tentang beauty dan fangirling.
In the end, dari break Instagram ini ada hal penting lain yang saya sadari: building just walls around myself just to please other people won’t get me anywhere. I need to also build a door. But the key to that door will be mine to keep. I’ll get to decide what and who are going inside, and not the other way around.
Foto: Dok. Freepik, Dok. Female Daily.