banner-detik

bath n body

Benarkah Berjemur Bisa Menangkal Coronavirus?

seo-img-article

FIRST LAB SUNSCREEN

Belakangan berjemur di bawah sinar matahari seolah jadi tren. Ada yang bilang, cara ini bagus buat menangkal penyebaran COVID-19. Emangnya benar, ya?

Biasanya, banyak orang yang menghindari paparan sinar matahari langsung, apa lagi di Indonesia, yang mataharinya bagaikan ada dua! But lately, people even put more effort to get sun exposure. Apa lagi alasannya kalau bukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh? Bahkan ada yang percaya kalau berjemur dibawah sinar matahari bisa menangkal COVID-19.

Well, hal ini nggak sepenuhnya salah. Tapi jangan langsung ikut-ikutan. There are some facts to know before following the hype

Dalam sinar matahari yang kita nikmati tiap harinya, ada radiasi dari pancaran sinar ultraviolet (UV). Berdasarkan panjang gelombangnya sinar UV terdiri dari tiga jenis: pertama dan yang terpanjang adalah sinar UVA, lalu disusul dengan sinar UVB, dan yang terpendek sekaligus yang terkuat adalah sinar UVC.  Untungnya, karena panjang gelombangnya yang pendek, sinar UVC nggak bisa menembus lapisan ozon. 

Baca juga: Berita Baik Hari Ini: Bantuan Datang untuk Tim Medis Melawan Corona

Manfaat Sinar Matahari Untuk Kesehatan

sunnies face

Vitamin D punya andil penting dalam menjaga kesehatan tulang, pencegahan penyakit autoimun, hipertensi, dan influenza. Pastinya juga udah pada tahu kan, kalau sinar matahari ada hubungannya dengan pembentukan vitamin D dalam tubuh. Nah, sebenarnya, pembentukan vitamin D oleh sinar matahari ini adalah “tugas” dari sinar UVB.

Tapi tunggu dulu! Ternyata berjemur aja nggak bikin kebutuhan Vitamin D langsung terpenuhi. Perjalanannya dimulai dari sinar UV B mengonversi provitamin D menjadi previtamin D di kulit, kemudian diubah kedalam bentuk Vitamin D3. Lalu proses terus berlanjut ke hati dan ginjal hingga akhirnya terbentuk bentuk aktif Vitamin D. Ada serangkaian proses panjang yang nggak instan.

Sintesis vitamin D dari radiasi sinar UV B juga dipengaruhi banyak hal, diantaranya:

SUNCREEN

  1. Lapisan ozon, musim dan letak geografis

We should thank the atmosphere for the ozon. Berkat lapisan ozon, radiasi sinar UV dari matahari bisa diminimalisir risikonya. Tapi, ketebalan ozon di seluruh muka bumi enggak sama, dan dapat berubah seiring dengan musim. Jumlah ozon tertinggi ada di area kutub, sementara jumlah ozon lebih kecil di area khatulistiwa (seperti Indonesia). Jumlah dan kekuatan sinar UVB yang dirasakan di Jakarta, Amsterdam, Austria, dan kota lainnya pasti berbeda-beda.

Ironisnya, menurut sebuah studi (2013), orang-orang di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara justru mengalami defisiensi vitamin D, lho. Padahal, harusnya sih, orang-orang di kawasan Asia Tenggara, yang beriklim tropis ini, lebih banyak mendapat manfaat dari sinar UVB.

  1. Ketebalan awan

Risiko radiasi sinar UVB juga dapat diminimalisir oleh lapisan awan di udara. Tapi bukan berarti sinar UV nggak bisa menembus awan. Langit berawan, apalagi saat mendung, bisa meminimalisir dampak sinar UVB. Ingat ya, hanya MEMINIMALISIR, bukan MENIADAKAN.

  1. Ketinggian wilayah

Pada kondisi langit cerah, radiasi sinar UV meningkat sekitar 7% setiap ketinggian 1 km. Jadi, semakin tinggi diatas permukaan laut, semakin tinggi pula radiasi sinar UV B. Nggak heran mengapa walaupun udara di puncak gunung terasa dingin, tapi sepulang mendaki gunung kulit malah makin gelap, bahkan sunburnt. 

  1. Warna kulit

Dampak sinar UVB juga bervariasi terhadap warna kulit. Orang berkulit terang lebih rentan mengalami sunburn dibanding orang berkulit gelap. That’s why, menurut penelitian, umumnya kulit gelap juga menghasilkan vitamin D enam kali lebih sedikit dibandingkan kulit pucat. 

  1. Obesitas dan usia

Obesitats dapat memicu berbagai masalah kesehatan, it’s true. Salah satunya bisa jadi defisiensi vitamin D. Orang yang mengalami kelebihan berat badan dan lanjut usia cenderung punya kapasitas sintesis vitamin D yang lebih rendah.

 

Dampak Paparan Sinar Ultraviolet Pada Kesehatan

Memakai Sunscreen Pada Rambut

Paparan sinar matahari dalam jumlah yang pas memang menyehatkan, tetapi paparan yang berlebihan dan terlalu lama bisa justru bisa berbahaya. Perlu dicatat bahwa radiasi sinar UVA dalam waktu lama bisa menyebabkan penuaan (photoaging) dan katarak, sementara radiasi sinar UVB yang lama bisa menyebabkan sunburn, hingga berpotensi menyebabkan kanker kulit! Itu sebabnya, penggunaan sunscreen sangat amat disarankan. Bahkan, WHO menyebutkan tingkat radiasi UV yang tinggi dapat mengurangi efektivitas vaksin, terutama di negara-negara berkembang.

Nah, lho. Jadi bingung kan? Sebenarnya sebaiknya berjemur jangan?

Walaupun punya dampak negatif, bukan berarti kita perlu menjauhi sinar matahari habis-habisan. Peranannya yang penting dalam sintesis vitamin D tentu nggak bisa disepelekan. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk mendapat paparan sinar matahari, specifically UVB, secukupnya. Salah satu caranya adalah dengan berjemur.

Baca juga: Tips Menjaga Diri Dari Coronavirus untuk Kulit Eczema

Kapan dan Berapa Lama Waktu Berjemur yang Baik?

SUNBURN 1

Kata “berjemur” sering diasosikan dengan cucian. Nggak heran banyak miskonsepsi tentang berjemur atau sunbathing ini sendiri. Masih banyak yang beranggapan “berjemur” itu harus lama, dan bisa kapan saja, asal ada sinar matahari, dan nggak hujan. Mengingat dampak negatif dari sinar UV, tentu anggapan ini salah besar.

Penelitian yang dilakukan oleh Michael F. Holick (2007) menyebutkan bahwa, umumnya, paparan sinar matahari terbaik adalah antara jam 10 pagi dan 3 sore selama 5 hingga 30 menit sebanyak dua kali seminggu. Penelitian ini jadi acuan banyak pihak terkait waktu dan durasi yang tepat untuk berjemur. Padahal, perlu digarisbawahi, bahwa hal ini tergantung pada waktu, musim, letak geografis, dan warna kulit.

Padahal, di Indonesia sendiri, terutama Jakarta dan Bandung, pada jam 10 pagi hingga jam 2 siang, index sinar UV sudah di level sangat tinggi hingga ekstrim. Artinya, pada jam-jam tersebut, paparan sinar UVA dan UVB justru berisiko tinggi (ingat, penuaan, katarak, sunburn dan kanker kulit, lho!)

Penelitian dari Setiati S. (2008) lebih spesifik menyebutkan, untuk di Indonesia, berjemur pada jam 9 pagi selama 25 menit sebanyak 3 kali seminggu, semestinya sudah bisa memenuhi kebutuhan vitamin D. 

Apakah dengan Berjemur dapat Mencegah COVID-19?

Rekomendasi Produk After Sun

Setelah membaca artikel ini dengan seksama, semoga nggak ada lagi yang percaya misinformasi terkait berjemur yang dapat mencegah penyakit akibat coronavirus. Sinar matahari, terutama UVB memang punya manfaat terkait pembentukan vitamin D yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Namun di sisi lain, sinar UVA maupun UVB yang ada pada paparan sinar matahari juga bisa berbahaya untuk kesehatan. Hal ini nggak ada hubungannya dengan pencegahan COVID-19.

Bahkan WHO menyatakan dengan tegas Exposing yourself to the sun or to temperatures higher than 25C degrees DOES NOT prevent the coronavirus disease (COVID-19)”.

It’s okay jika ingin berjemur dibawah sinar matahari selama memerhatikan waktu dan durasi yang tepat. Jangan lupa pula untuk mengaplikasikan sunscreen jika memang harus beraktivitas diluar rumah pada siang hari.

 

 

Referensi:

Nimitphong, H., & Holick, M. F. (2013). Vitamin D status and sun exposure in southeast Asia. Dermato-endocrinology, 5(1), 34–37.

Holick MF. (2007). Vitamin D deficiency. N Engl J Med. 357:266–81.

Engelsen, Ola. (2010). The Relationship between Ultraviolet Radiation Exposure and Vitamin D Status. Nutrients, 2, 482-495.

https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public/myth-busters

https://www.who.int/uv/health/uv_health2/en/index3.html

https://www.medicalnewstoday.com/articles/326167#tips

 

 

Slow Down

Please wait a moment to post another comment