backstage beauty
02 Mar 2018
3 Tren Konten Beauty Vlog Kritis
Beberapa jenis konten beauty vlog belakangan mengambil arahan berbeda dan menggandeng para penonton agar lebih bijak sebagai beauty enthusiast. Apa aja?
“Drop everything, you need this!”
“Bye, money!”
Nggak bisa disangkal, pengaruh media (termasuk FD!) dan beauty influencers dalam mempengaruhi daya beli beauty enthusiasts memang besar banget. Saya yakin, berdasarkan pengalaman pribadi dengan followers saya juga, banyak yang terkena “racun bermanfaat” karena produk yang dibeli akibat “termakan” review, nyatanya malah jadi favorit baru, atau ngebantu masalah kulit mereka.
Tapi gimana kalau hasilnya malah memicu lapar mata, atau pembelian impulsive? Bisa-bisa efeknya adalah sifat konsumerisme. Apa lagi saat banyak brand zaman sekarang sedikit-sedikit bikin koleksi limited edition, holiday collection atau koleksi kolaborasi yang muncul hampir setiap minggu, yang kadang di mata saya seperti mau kejar setoran sampai kita nggak bisa keep up lagi dengan produk-produk brand tersebut.
Sejumlah jenis konten beauty vlog belakangan ini justru membuat saya semangat, karena mengambil arahan berbeda dari beauty vlog kebanyakan dan menggandeng para penonton agar lebih bijak sebagai beauty enthusiast.
1. Konten Anti-Konsumerisme
Jujur, sekarang saya hanya menonton beauty vloggers favorit untuk dua hal: review foundation dan chatty videos. The later one, is where beauty vlogs get exciting lately. Semakin banyak beauty vloggers yang nggak takut beropini, kritis, bahkan menentang sikap konsumerisme.
Anti-haul adalah salah satu tipe video sejenis udah lebih populer. Sekarang tren-nya bergeser juga ke judul seperti “Hype Products You Won’t Need” bahkan sampai “Makeup Drugstore yang Harganya Makin Melambung.”
Lucia Tepper, Lauren Mae dan Olivia Sohlen adalah beberapa beauty vloggers yang paling vokal dengan konten-konten anti-konsumerisme. Masing-masing punya alasannya sendiri, bukan sekedar nyinyir terhadap industri kecantikan. Membaca berbagai komentar-komentar di video mereka, rasanya perempuan-perempuan ini memang sukses menyuarakan isi hati banyak followers-nya.
2. Anti “Kebohongan”
Maksud “kebohongan” di sini adalah konten-konten dan gaya makeup tidak realistis yang lahir di media sosial. Contohnya, Instagram makeup super tebal yang hanya bagus di depan ring light dan kamera, serta konten-konten dengan judul clickbait.
Baca juga: Yang Dicari Netizen dari Beauty Influencer
3. Konten Niat
Coba amati, berapa banyak vloggers yang membuat video “Get Ready with New Products” atau sekedar PR unboxing? Ini salah satu alasan kenapa saya sampai unsubscribe masal sejumlah beauty vloggers beberapa waktu lalu, karena makin banyak yang tampak seperti hanya membuat video untuk menampung produk kiriman brand, dan dengan gampang memutuskan satu produk recommended atau nggak setelah satu kali percobaan.
Thus, I see some vloggers that still make “real contents” as gems. Emily Noel dan Stephanie Nicole ada beberapa di antaranya, di mana sebuah produk baru benar-benar dibedah, atau dikaryakan untuk konten lain yang benar-benar membantu penonton agar membeli produk terbaik sesuai budget mereka.
Yah boleh dibilang alasan utama saya menulis artikel ini karena lagi lumayan kesal dengan konten-konten “ngiklan” di ranah beauty, entah itu dari brand maupun influencers. Seperti kata beauty vlogger Porcelain, banyak lho penonton beauty vlog remaja dan anak-anak muda, yang nonton YouTube karena mau mendapat ilmu beneran, mencari produk yang worth it, dan jangan sampai mereka berpikir bahwa makeup itu harus coret concealer sana-sini, atau setiap palette buah peach ini-itu harus dibeli.
Share your thoughts!


