Coba cek produk-produk yang kamu sering pakai. Kira-kira kamu bisa gak membedakan apakah mereka termasuk brand indie atau bukan? Baca untuk tahu lebih lanjut apa sebenarnya kriterianya dan kenapa ini perlu untuk diketahui konsumen.
Brand beauty independen lokal, atau yang juga sering disebut dengan ‘indie’ sedang jaya-jayanya. Pembelinya makin banyak, sehingga membuat lama-lama brand-nya jadi semakin besar. Pertanyaannya, apakah ketika brand indie menjadi terkenal, mereka sudah tidak cocok menyandang predikat indie? Lalu apa pentingnya independensi sebuah brand bagi konsumen?
Istilah indie merupakan kependekan dari independen, sehingga brand yang dapat disebut indie adalah brand yang berdiri sendiri tanpa berada di bawah perusahaan tertentu atau didukung oleh investor.
Berkat media sosial, brand-brand indie ini mulai mengklaim ruang-ruang yang awalnya dikuasai oleh brand-brand besar. Karena tidak disokong bantuan dana dari mana-mana itu tadi, brand indie umumnya berskala kecil dengan deretan produk yang lebih sedikit pula. Jika mereka berhasil menarik hati pasar, lama kelamaan brand-brand indie ini dapat terus bertumbuh. Tapi bicara soal laju, tentu akan kalah dengan brand yang dibiayai oleh lembaga penyedia modal.
Meski mereka belum mampu menghadirkan banyak pilihan bagi pasar, brand-brand indie ini punya daya tariknya tersendiri. Ada beberapa karakteristik yang menonjol, seperti menawarkan inovasi baik dari segi formulasi, desain kemasan, cara pemasaran, hingga pengalaman berbelanja.
Selain dari disrupsi yang dilakukan brand-brand indie yang barusan disebutkan, brand indie juga cenderung lebih mudah membentuk “fanbase” lantaran gaya komunikasi yang menekankan kesan bahwa mereka merupakan sosok teman. Umumnya mereka berbahasa sama seperti bahasa kita sehari-hari, dan sering melibatkan konsumen dalam percakapan hingga pembuatan keputusan.
Dapat dikatakan, brand indie lebih punya personality dibanding brand yang established. Konsumen akhirnya merasa lebih relate, sehingga menimbulkan rasa percaya yang memupuk berjayanya brand indie di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Bicara asal usulnya, semua yang termasuk dalam kategori indie, yang tidak hanya terbatas pada lingkup brand beauty semata, muncul sebagai respon menentang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan arus utama.
Dalam konteks musik misalnya, kalau kamu perhatikan, band-band indie rata-rata keluar dari pola-pola penulisan lirik yang banyak diterima oleh pasar, begitu pula dengan melodi-melodi lagu mereka. Hal yang sama juga terjadi pada indie beauty brands. Brand-brand indie ini rata-rata berbahan bakar passion atau purpose yang spesifik, dan tidak jarang juga berangkat dari keresahan atau permasalahan founder mereka.
Tidak heran, kualitas produk-produk mereka pun akhirnya mengikuti, karena idealisme founder yang ingin menciptakan produk untuk orang-orang yang mirip dengan mereka. Misalnya, Kriwil Haircare, produk perawatan khusus rambut keriting yang awalnya dibuat guna meng-embrace rambut keriting founder-nya, Gracia Indriani yang sering dianggap berantakan, rusak, dan tidak cantik. Atau Harlette Beauty yang memang mengembangkan produknya berdasarkan permasalahan kulit foundernya, Valencia Nathania yang sempat mengalami jerawat super parah, serta Dewi Kauw, founder dari Skin Dewi yang menciptakan produk pada awalnya karena anak keduanya mengalami kondisi Atopic Dermatitis
Jika sebuah brand awalnya masuk ke industri dari dana pribadi namun seiring berjalannya waktu dilirik dan akhirnya didukung oleh investor atau lembaga penyedia modal lainnya, secara teoritis, brand tersebut tidak lagi bisa dikatakan sebagai brand indie.
Terus kenapa emangnya status sebuah brand, baik itu independen atau bukan, perlu diketahui konsumen?
Dengan disokong oleh dana dari pihak ketiga, brand-brand akan lebih punya keleluasaan untuk mengeksplor opsi-opsi yang ada tanpa perlu memusingkan biaya. Ciri-ciri brand yang punya backing-an biasanya cukup terlihat, misalnya mereka yang secara masif terus menerus merilis produk baru. Juga mereka yang terlihat banyak bereksperimen seperti melakukan reformulasi, memperbarui kemasan, dan beberapa lainnya dalam jangka waktu yang sangat dekat.
Di lain sisi dari keleluasaan mereka untuk “bermain”, mereka juga sebenarnya tidak leluasa di saat yang bersamaan. Ada kepentingan investor serta lembaga penyedia modal yang turut ambil andil dalam setiap keputusan yang mereka lakukan. Kalau tidak hati-hati, idealisme bisa dipertaruhkan.
Tentu tidak semua brand yang memutuskan untuk melepas status independennya sudah pasti disetir oleh sang empunya modal. Namun jika gerak-gerik mereka lama-lama sudah tidak sesuai dengan alasan mengapa kamu menyukai brand tertentu, mungkin saatnya kamu mempertimbangkan ulang produk beauty yang mau kamu pakai.
Tapi bukan berarti brand yang didanai investor pasti menjadi bumerang bagi citra maupun arah gerak brand. Dengan adanya kucuran dana yang tetap, brand dapat memperdalam riset pasar serta produk mereka untuk menghasilkan formulasi produk yang lebih stabil. Belum lagi proses distribusi yang lebih dimudahkan, sehingga mungkin produknya akan lebih mudah ditemukan di mana-mana.
Pada akhirnya, brand independen dan established punya karakteristiknya masing-masing, dan bukan untuk disandingkan satu sama lain untuk dicari yang mana yang paling baik. Produk skincare akan kembali lagi ke faktor kecocokan dengan kulit masing-masing, begitu pula makeup yang tergantung dari jenis kulit, finish yang diinginkan, serta skill makeup.
Kalau kamu, lebih tergerak untuk dukung brand yang seperti apa nih? Apapun pilihannya, semoga kamu secara sadar memilih yang dirasa paling tepat buatmu, ya.