Industri kecantikan lokal sudah mulai menyediakan rentang shade pada produk complexion yang beragam. Namun apakah artinya industri kecantikan kita sudah inklusif? Bagaimana dengan perbedaan jenis rambut yang ada di Indonesia?
Satu dua tahun belakangan, brand-brand lokal banyak yang merilis produk complexion dalam berbagai bentuk, mulai dari compact powder, cushion, sampai foundation. Menariknya, rentang shade yang ditawarkan cukup–atau setidaknya lebih–beragam. Terlihat bahwa produk-produk tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk yang berkulit terang, tapi juga sawo matang bahkan kecokelatan.
Beberapa contoh misalnya Make Over Powerstay Weightless Liquid Foundation yang mengeluarkan 20 shade berbeda, disusul Somethinc yang mengeluarkan 14 shade Copy Paste Breathable Mesh Cushion SPF33 PA++, kemudian BLP Beauty dengan 12 shade Face Base-nya. Kalau kita lempar balik ke lima tahun ke belakang saja, mungkin kita belum melihat opsi shade produk complexion seberagam ini.
Dengan rentang warna produk complexion yang makin luas, apakah berarti industri kecantikan Indonesia sudah inklusif? Ternyata realitanya tidak seindah itu.
Pada tahun 2017, brand milik Rihanna, Fenty Beauty, menggebrak industri kecantikan global dengan merilis 40 jenis shade foundation sekaligus. Dengan menambah 10 shade lain di tahun 2019, Fenty Beauty bisa dibilang jadi salah satu pelopor gerakan industri kecantikan yang lebih inklusif.
Sejak saat itu, para pemain industri mulai lebih memperhatikan kebutuhan demografis yang berbeda-beda. Selain warna kulit, brand-brand juga mulai memperhatikan kebutuhan lain, misalnya Halal beauty, atau produk-produk yang dibuat dengan tunduk pada syariat agama Islam.
Melihat Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, beauty brand lokal tentu tidak melewatkan kesempatan untuk bisa masuk ke pasar ini. Namun ada demografis yang masih sedikit tersentuh oleh industri kecantikan lokal, yaitu mereka yang memiliki jenis rambut ikal dan keriting.
View this post on Instagram
Easter Maharani, FD Member yang memiliki jenis rambut keriting dengan tipe 3A dan 3B sering mendapatkan respon yang tidak diharapkan setiap ia pergi ke salon. “Sering banget dapet masukan dari hair stylist supaya rambutku dicatok aja, dilurusin, atau di-smoothing. Dalam hati aku, aku kan tetep maunya keriting. Masih banyak pemahaman di salon-salon kalo rambut keriting itu berantakan,” ujarnya.
Reaksi yang sama juga diterima Gracia Indriani, founder Kriwil Salon & Haircare meski mengunjungi salon yang berbeda. “Waktu itu umurku sekitar 6 tahun, aku pergi ke salon dekat rumah bareng mamaku. [Para pekerja salon] cuma megang rambutku, terus mereka ngomong kalo rambut aku ngembang dan rusak. Mending dilurusin, jangan dipotong pendek karena nanti akan megar dan naik ke atas. Aku baru kelas 1 SD, tapi dari kecil jadinya aku punya mindset seperti itu,” cerita Gracia.
View this post on Instagram
Kepada Female Daily, Gracia bercerita bahwa ia juga sering mendengar pengalaman serupa yang dialami oleh pelanggan Kriwil. Masalahnya, seringkali kita menganggap hairstylist sebagai tenaga ahli di bidangnya, sehingga akan lebih mudah bagi kita untuk percaya apa kata mereka. Namun dengan kecenderungan orang-orang ahli yang secara tidak langsung mencibir rambut keriting, secara tidak langsung melanggengkan standar kecantikan yang tidak realistis, bahwa seseorang harus berambut lurus agar dapat dianggap cantik.
Pandangan para hairstylist yang demikian tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena komentar-komentar tersebut berakar pada standar kecantikan yang sudah terlalu lama beredar di masyarakat Indonesia.
Dengan keunikan rambut keritingnya, Easter sudah menjadi wajah dari beberapa kampanye yang diadakan oleh brand lokal. Mulai dari brand parfum Carl & Claire pada tahun 2020 hingga brand kosmetik SASC dan BASE pada tahun 2022.
Mewakili orang-orang yang berambut keriting, Easter merasa representasi rambut keriting di media itu sangat penting. “Orang Indonesia masih banyak yang punya perspektif tentang cantik itu kalo badannya kayak model, rambutnya lurus, hitam, dan panjang. Dengan melihat perwakilan-perwakilan yang makin beragam, misalnya rambut berwarna, tubuh plus size, rambut pendek bahkan keriting, itu menurutku membantu sekali buat orang-orang Indonesia untuk punya standar kecantikan yang berbeda.”
Easter melanjutkan, “Harapannya sih mereka bisa melihat juga kalo keunikan mereka juga bisa jadi hal yang membuat mereka cantik.”
Melihat orang-orang dengan penampilan yang mirip dengan kita, baik itu dari bentuk tubuh, warna kulit, atau jenis rambut, eksis meramaikan iklan atau kampanye brand-brand kecantikan memang empowering. Namun, hal ini rentan menjadi bentuk tokenisme, atau pernyataan secara simbolis untuk memberi kesan bahwa brand tersebut mendukung keberagaman.
Pada akhirnya, meski representasi yang lebih beragam di industri kecantikan dalam negeri sekarang layak diapresiasi, juga perlu didukung dengan penyediaan produk atau layanan yang mumpuni dan mudah diakses. Dengan demikian, representasi tersebut akan lebih berdampak langsung ke level individu. Teman-teman yang berambut ikal atau keriting juga jadi dapat merasa bahwa mereka cantik, bukan berlandaskan pada anggapan semu, tapi benar-benar dapat dirasakan dengan bantuan produk atau layanan yang memang dibuat dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka.