banner-detik

backstage beauty

Mengapa Virtual Influencer Mulai Ramai Mewarnai Industri Kecantikan?

seo-img-article

Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan brand dengan kehadiran sosok avatar dua dimensi yang juga disebut virtual influencer? Seberapa jauh hal ini akan mengubah industri?

 

Mengikuti jejak industri fashion, beberapa tahun belakangan industri beauty mulai merambah ke metaverse. Tapi tanpa perlu menjelajahi metaverse, kita pun sebenarnya sudah melihat produk turunannya wara-wiri di media sosial kesayangan kita, yaitu virtual influencer. 

virtual influencer

Dok. www.www.apgroup.com

Beberapa brand internasional sudah mulai mengenalkan virtual influencer mereka masing-masing, sebut saja Amore Pacific, induk perusahaan Sulwhasoo, Laneige, Mamonde, dan Innisfree yang punya influencer buatan bernama G.G. Avatar ini sampai dibuatkan sebuah lagu plus music video berjudul “Find My Color”  yang mengisahkan perjalanan G.G. sebagai model yang tiba-tiba menghilang dari set film komersial.

Begitu pula L’Oreal yang menghadirkan sosok avatar dua dimensi, Mr. Ou yang digambarkan merupakan seorang pengusaha berusia 24 tahun keturunan China-Perancis yang peduli dengan lingkungan dan bekerja di industri beauty. 

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Glow Better (@glowbetter.id)

Brand lokal sendiri juga terpantau sudah ada yang menggunakan avatar dua dimensi ini, yaitu Glow Better dengan avatar yang dinamakan Gaby. Peran Gaby, kalau dilihat dari konten-konten Instagram Glow Better, terlihat jadi semacam maskot yang hadir dalam materi promosi brand skincare tersebut. Namun, tidak jarang Gaby juga ditonjolkan sisi manusianya, seperti Gaby yang sedang mirror selfie dan Gaby yang sedang nongkrong di kedai kopi.

Kira-kira, apa ya yang menjadi daya tarik virtual influencer ini?

 

Karisma virtual influencer 

Dok. screenshot from Instagram @lilmiquela

Secara definisi, virtual influencer adalah sosok manusia buatan komputer yang diberi karakter dan personifikasi. Sebelum kamu berpikir kalau hal ini tidak akan menarik perhatian banyak orang, cek akunnya Lil Miquela yang punya 2,9 juta followers di Instagram. 

Brand deals yang masuk pun gak main-main. Ada Calvin Klein, Prada, Givenchy, dengan biaya sekitar US$8,500 atau setara dengan sekitar 131 juta rupiah per satu post. Miquela bahkan dinobatkan sebagai The 25 Most Influential People on the Internet versi majalah TIME tahun 2018 bersama Donald Trump, Kanye West, dan BTS. 

 

Walaupun kesuksesan Lil Miquela terlihat menggiurkan,namun karakter fiksi yang diterapkan di brand beauty sedikit berbeda. Persona Lil Miquela dibangun persis menyerupai influencer di dunia nyata yang bekerja secara independen. Sedangkan beberapa brand beauty yang sempat disebutkan di atas, memosisikan karakter virtual mereka menjadi sosok brand ambassador. Lantas apa hasil yang ingin didapat dengan menjadikan virtual influencer sebagai maskot mereka? Apa yang ingin disampaikan ke konsumen dan masyarakat umum?

 

Digandrungi kini, bagaimana di masa depan?

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Laverda Salsabila (@lav_caca)

Menurut sebuah studi pada tahun 2021, virtual influencers mampu meningkatkan engagement rate hingga tiga kali lipat jika dibandingkan dengan influencer di dunia nyata. Virtual influencer ini juga dilihat relevan jika brand ingin menyasar kalangan Gen Z yang lebih melek teknologi.

“Menginspirasi orang jadi tidak semudah dulu, terutama audiens yang lebih muda. Mereka sangat pintar, mereka skeptis dan mudah bosan dengan konten itu-itu saja yang memenuhi feed mereka setiap hari. Jadi mereka mencari konten yang lebih kreatif dan menyenangkan, meskipun mereka tau hal tersebut tidak nyata,” menurut pakar komunikasi brand Reyyan Sonmez kepada TRT World. 

Di tengah ‘kebisingan’ suara influencer yang menggembor-gemborkan diskon atau rilisan produk baru dari brand tertentu, kehadiran virtual influencer memang memberi angin segar. Audiens akan dengan mudah mengingat sosok virtual influencer karena tampilannya yang berbeda sendiri dibandingkan dengan konten-konten lainnya di feed dan linimasa. 

Namun, apapun yang awalnya terkesan baru kelamaan juga akan hilang status kebaruannya, dan menjadi hal yang sudah umum. Di bayangan saya, ketika semua brand akhirnya melirik virtual influencer, karakter 2 dimensi nantinya akan tidak spesial lagi. Dan review-review jujur dari influencer yang bukan buatan komputer akan jadi angin segar lagi. Dan begitu seterusnya.

Dari sudut pandang brand, jika dibandingkan dengan influencer sungguhan, virtual influencer memang lebih tidak rentan terjerat kontroversi yang berisiko menodai stabilitas reputasi brand. Virtual influencer juga tidak bisa menua, tidak bisa cuti atau sakit, dan tidak punya skin concern yang berubah-ubah, sehingga menawarkan kepastian kualitas konten atau deliverables lainnya bagi brand. 

Meski demikian, virtual influencer memang tidak mampu mencoba produk beserta pengalaman pemakaian yang biasanya berbeda-beda tergantung pemakai. Pesan yang disampaikan virtual influencer pun akan terkesan terprogram, beda dengan orang sungguhan yang selain bisa punya pengalaman unik dengan produk yang ingin dipasarkan, juga punya ciri khas berceritanya masing-masing. 

Sama seperti kekhawatiran soal bagaimana AI dapat menggeser pekerjaan manusia di masa depan, kekhawatiran ini dapat ditepis (atau setidaknya diredam) mengingat DNA AI serta karakter yang diciptakan komputer lainnya tidak punya rasa seperti kita manusia. Kalau saya pribadi percaya, esensi dari pemasaran adalah menyentuh rasa, dan manusia pasti akan selalu lebih unggul soal hal itu.

Images: Instagram @lilmiquela

Slow Down

Please wait a moment to post another comment