Fenomena clean beauty serta beragam klaim ‘free from…’ memang berpotensi bikin bingung. Untuk meluruskan kesimpangsiuran, simak obrolan FD dengan Gita Savitri Devi di bawah ini.
Kamu pasti familiar dengan Gita Savitri Devi kan? Selain memiliki kesibukan sebagai content creator dan author, lulusan Kimia Murni dari Freie Universität Berlin ini juga bekerja sebagai chemist di sebuah cosmetic development company di Hamburg, Jerman. Dalam menjalankan profesinya, tugas utama Gita adalah mengembangkan formulasi berbagai produk untuk beragam indie skincare brand yang diproduksi dan didistribusikan di Eropa. Nah, kalau kamu masih belum memahami konsep clean beauty, tetapi tertarik untuk mencoba produk-produk clean beauty, yuk cari tahu dulu dengan membaca penjelasan Gita.
Baca juga: Serba-serbi Clean Beauty
Di tempat Gita bekerja, klaim ‘free from…’ merupakan suatu hal yang dihindari, karena klaim tersebut dikhawatirkan dapat memberikan kesan bahwa suatu substansi kimia (yang tidak terkandung dalam produk tersebut) memiliki dampak yang buruk. Sebagai seorang chemist, Gita mengakui bahwa dirinya cukup resah dengan timbulnya klaim ‘chemical-free’ atau ‘preservative-free’.
“Kalau ada orang yang minta rekomendasi produk yang nggak ada bahan kimianya, aku nggak tahu mau jawab apa, because everything is chemical. Everything in this world is made of atoms and substances–they are chemical. Badan kita dan segala proses yang terjadi di dalamnya pun berhubungan dengan kimia,” jelasnya.
Gita juga menjelaskan bahwa keberadaan pengawet dalam produk kosmetik bukanlah hal yang buruk, karena kontaminasi produk justru jauh lebih buruk. “Kalau ada produk kosmetik yang terkontaminasi jamur atau bakteri karena tidak mengandung pengawet, akan ada kemungkinan konsumennya terkena infeksi. Salah satu cara untuk menjaga keamanan sebuah produk adalah dengan memiliki pengawet di dalamnya, terutama apabila produk tersebut mengandung air. Penggunaan pengawet juga ada batasan konsentrasinya, ada aturan yang harus diikuti oleh formulator. Maka dari itu, secara pribadi melihat ancaman yang sesungguhnya itu adalah kontaminasi dalam sebuah formula ketimbang penggunaan pengawet. ”
Gita melihat tren penggunaan bahan-bahan natural yang terus meningkat, sehingga semakin banyak pula raw material suppliers yang menghadirkan kualitas raw material yang baik. Namun, sesungguhnya hingga saat ini istilah ‘natural’ dalam beauty industry belum memiliki definisi secara hukum, sehingga ‘natural’ dapat diinterpretasikan berbeda oleh banyak pihak.
Menurut Gita, ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan, terutama bagi konsumen. “Does ‘natural’ mean it comes directly from a natural source with only minimal processing? Does ‘natural’ mean it is derived from natural ingredients? Is ‘natural’ identical to ‘natural ingredients’? Pengertiannya bisa banyak dan rancu sekali, simply karena belum ada legal definition. Klaim bahwa ‘natural is better’ juga seharusnya dipertanyakan; what does ‘better’ mean? Better performance? Better for the environment? Karena ingredients yang natural juga belum tentu selalu aman,” paparnya.
Gita menjelaskan bahwa bahan-bahan natural biasanya mengandung impurities yang lebih banyak daripada bahan-bahan sintetis, alhasil dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses refining untuk membersihkannya hingga akhirnya mencapai standar purity yang sesuai dan aman sebagai kandungan sebuah produk kosmetik. Gita juga menegaskan bahwa ini merupakan standar yang berlaku di Eropa, tepatnya standar ISO 16128 yang mendefinisikan tingkat alamiah suatu produk berdasarkan kandungan yang terdapat di dalamnya.
Bahan-bahan natural belum tentu lebih sustainable, karena banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan sebelumnya, mulai dari proses sourcing, penggunaan air, efisiensi produksi, sumber energi produksi, sampai waste management. Gita juga memberikan contoh, yaitu silikon. “Silikon adalah bahan sintetis yang tidak membutuhkan banyak air atau menjadikan tumbuhan sebagai raw material dalam produksinya. Unfortunately, silikon tidak dianggap sebagai bahan yang sustainable. Produksi plant oils yang jelas butuh banyak tumbuhan untuk memproduksi hanya sekian liter malahan sering dianggap sebagai alternatif yang lebih baik.”
Selain itu, bahan-bahan natural juga belum tentu memiliki tingkat efektivitas yang sama dengan bahan-bahan sintetis, misalnya saja bakuchiol yang sering digadang-gadangkan sebagai natural alternative dari retinol. “I personally love retinol. Ada banyak penelitian yang sudah membuktikan efficacy retinol. Can bakuchiol do the same? I think more studies are needed, because natural ingredients are not always comparable to synthetic ingredients,” tutur Gita.
Paraben, SLS, dan silikon–trio yang sering dikumandangkan sebagai must-avoid. Nyatanya, ketiga kandungan ini memiliki manfaat nyata terhadap produk kosmetik. Dari kacamata seorang chemist, Gita melihat paraben sebagai bahan pengawet dengan tingkat skin compatibility yang baik, sehingga Gita menyayangkan sentimen anti-paraben yang ada. “Di Eropa, formulasi produk kosmetik dengan paraben tidak dilarang. Penggunaannya tetap diatur dengan batas konsentrasi maksimal sebesar 0.4%. Kalau mengacu pada Cosmetic Ingredient Review, konsentrasi hingga 25% pun masih aman,” ujarnya.
Sama halnya dengan paraben, Gita juga melihat SLS sebagai kandungan yang aman selama berada dalam batas maksimal konsentrasi yang wajar. Walau tidak selembut surfaktan lain, SLS adalah surfaktan anionik dengan kekuatan cleansing dan foaming yang sangat baik. Apabila diformulasikan dengan surfaktan non-ionik atau skin-conditioning agent yang tepat, maka tingkat kelembutannya pun dapat meningkat. Dengan demikian, SLS bukanlah kandungan yang harmful.
Gita mengerti kenapa ada sentimen anti-silikon, khususnya dari orang-orang yang memiliki tipe kulit acne-prone dan merasa jerawat mereka menjadi semakin parah saat menggunakan produk yang seolah-olah melapisi kulit dan menyumbat pori-pori. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang berhasil membuktikan bahwa silikon bisa menyumbat pori-pori; yang telah terbukti adalah silikon merupakan kandungan yang aman dipakai dan memiliki performa yang baik. Gita juga memaparkan bahwa silikon sesungguhnya degradable, karena silikon terbuat dari pasir dan akan kembali menjadi pasir. “So, it’s not that silicone is not degradable; it is indeed degradable, tetapi bukan dengan mikroorganisme,” pungkasnya.
Idealnya, kita harus bisa menjadi konsumen yang bijak dalam membuat informed purchase decision. Maka dari itu, kita harus memahami kondisi kulit kita sebenar-benarnya, termasuk kandungan produk yang kulit kita bisa terima atau tidak bisa terima. Lebih baik lagi kalau kita bisa membaca dan memahami daftar kandungan produk kosmetik yang kita minati.
Namun, ingatlah juga bahwa beauty brand yang memproduksi dan mendistribusikan produknya secara luas tentu akan mengutamakan keselamatan konsumen, so they are definitely putting out safe products on the market. Kalau kamu memiliki keraguan terhadap sebuah brand atau produk, kamu juga bisa mengecek perizinannya dari BPOM. Let’s be smart beauty consumers!