Casting pemain di film Indonesia memang masih cukup banyak didominasi oleh aktor blasteran. Apakah ini menjadi salah satu penyebab standar kecantikan yang toxic di Indonesia?
Suatu sore hari saya dan teman-teman ingin menonton film Indonesia. Saat menelusuri pilihan film di Netflix, ada sebuah pola yang saya perhatikan. Ternyata banyak pemeran utama dalam film komersial Indonesia yang didominasi oleh campuran bule atau blasteran.
Saya sempat termenung sejenak dan kemudian sadar, bahwa betapa kita sebagai orang Indonesia memandang tinggi budaya Barat sampai-sampai produk budaya kita sendiri pun didominasi oleh budaya tersebut.
Casting pemain blasteran dalam film-film Indonesia kemudian bertindak sebagai representasi yang tidak hetegoren dari masyarakat kita; memberikan kesan bahwa mayoritas penduduk Indonesia tampaknya memiliki kulit putih, sosok tubuh langsing dan rambut lurus yang panjang terurai. Walaupun memang mungkin para pemain tersebut memiliki talenta yang luar biasa, tapi tanpa disadari hal ini secara tidak langsung bisa mempromosikan beauty standar yang toxic di Indonesia.
Baca juga: Masih Relevankah Cantik itu Putih?
Saat kita membahas soal siklus casting blasteran dalam film komersial Indonesia, saya melihat salah satu penyebabnya adalah standar kecantikan yang dibangun dari norma kecantikan Barat.
Di mana standar kecantikan Indonesia yang kita kenal sekarang adalah hasil dari penjajahan Belanda selama Perang Dunia II, yang memungkinkan feminitas kulit putih menyebar di Indonesia. Hal ini tentunya mendorong masyarakat Indonesia untuk “merayakan” kecantikan dari orang yang berkulit putih.
Wanita dianggap “cantik” jika memenuhi kriteria berikut ini: kulit putih bersih, hidung mancung, rambut cokelat, rambut lurus, dll. Oleh karena itu, ras blasteran biasanya masuk casting film karena memenuhi kriteria tersebut, karena latar belakang ras mereka.
Kulit putih kemudian terus diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia di era pasca-kolonial, di mana budaya pop Amerika mulai beredar di masyarakat Indonesia karena nilai-nilai pro-Amerika Soeharto. Hal ini kemudian mendorong munculnya standar kecantikan “all-american beauty“, yang akhirnya berdampak pada media di Indonesia.
Di mana platform seperti televisi, film, majalah mulai menyanjung kulit putih melalui casting model blasteran. Menyoroti kecantikan Barat di berbagai media, khususnya dalam film, saya rasa dapat merugikan masyarakat karena secara tidak langsung memberikan tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis.
Baca juga: Publik Figur Juga Nggak Lepas dari Beauty Standar
Saya ingat sewaktu masih kecil sangat sering melihat orang blasteran di layar dan berpikir bahwa ada yang salah dengan saya karena saya tidak terlihat seperti mereka. Sepertinya saya tidak akan dianggap sebagai seseorang yang “cantik”.
Saya hampir tidak sadari bahwa orang-orang yang saya lihat di layar hanyalah sebagian kecil dari komunitas kami. Namun, dengan narasi dari media, sulit bagi saya untuk melepaskan diri dari tekanan tersebut—karena saya, kami, setiap hari selalu diingatkan tentang standar kecantikan yang diharapkan masyarakat untuk kami patuhi.
Karena representasi wanita dengan kulit kecokelatan di media masih belum sebanyak itu, jadi begitu susah bagi kita untuk merasa nyaman dengan penampilan kita sendiri. Dalam masyarakat ini, kita telah didoktrinasi untuk memuji ciri-ciri ideal Barat sambil mengabaikan ciri khas Indonesia. Sehingga menjadi sulit untuk kita menemukan kenyamanan dan kepercayaan diri untuk menampakan kecantikan alami sebagai orang Indonesia asli.
Kalau dilihat beberapa waktu ke belakang, memang casting blasteran ini perlahan mulai membaik, seperti yang terlihat pada Yuni, Penyalin Cahaya, Marlina si Pembunuh 4 Babak, Perempuan Tanah Jahanam, hingga Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Walaupun begitu, saya berharap inklusivitas ini tidak hanya dijadikan sebuah tren semata, tapi bisa menjadi awal bagi kita menyadari bahwa keberagaman itu adalah sebuah hal indah yang dimiliki oleh Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini, menurut saya casting blasteran yang masing sering kita lihat di berbagai film Indonesia ini memang menjadi salah satu pemicu munculnya standar kecantikan yang bisa dibilang toxic di Indonesia, karena tidak mememperlihatkan keberagaman yang signifikan. Jika media terus melanjutkan representasi yang tidak heterogen, serta mendukung standar kecantikan yang tidak realistis, bagaimana dan kapan masyarakat dapat menerima perbedaan dengan apa adanya? Kapan kita bisa merasa nyaman dengan penampilan kita sendiri? Kapan kita akan mendapatkan kepercayaan diri untuk membanggakan kecantikan kita sendiri?
Indonesia terdiri dari komunitas yang sangat beragam—orang-orang dengan berbagai bentuk, warna kulit, dan ukuran. Untuk itu, kita semua layak untuk diapresiasi dan diwakili.