Pernah dengar soal burnout sebelumnya? Kata ini memang lagi sering diucapkan, apa lagi di kalangan pekerja generasi milennial dan gen z. Namun, burnout bukanlah hal baru. Fenomena ini sudah banyak diteliti oleh akademisi sejak lama. Tapi, apa sih burnout itu? Seberapa berbahaya kah fenomena ini untuk kesehatan fisik dan mental jika dibiarkan?
Baca juga: Cara Mengatasi Stress Ala Nam Do San dan Lee Su Ho, dengan Merajut!
“Duh, akhir-akhir ini gue merasa mentok sama kerjaan ini. Kayaknya gue lagi burnout, deh!”
Pernah dengar keluhan seperti di atas dari kolega atau sahabatmu? Perasaan stuck, nggak bergairah, lelah dan hampa saat menjalani pekerjaan, adalah tanda-tanda burnout. Istilah burnout sendiri sebetulnya sudah ada sejak lama. Salah satu definisi burnout dari Pines dan Aronson (1989), burnout sebagai bentuk tekanan psikis, berhubungan dengan stress kronik, yang dialami seseorang dari hari ke hari, ditandai dengan kelelahan fisik, mental dan emosional.
Burnout termasuk dalam the International Classification of Diseases Revisi ke-11 (ICD-11) sebagai fenomena yang berhubungan dengan pekerjaan (occupational phenomenon). Namun burnout bukan tergolong kondisi medis. Walaupun tergolong occupational phenomenon, tapi burnout nggak cuma bisa menyerang orang-orang yang bekerja behind the desk, atau 9 to 5. Freelancer, pelajar, juga ibu rumah tangga pun dapat mengalami burnout.
Dilansir dari Psychology Today, nyatanya, penyebab burnout bukan sesederhana karena kamu kebanyakan kerja. Banyaknya pekerjaan dan lamanya durasi bekerja, memang turut andil dalam terjadinya burnout. Namun, burnout terjadi ketika seseorang nggak mampu lagi untuk mengontrol pekerjaan, baik di kantor atau di rumah, atau saat diminta mengerjakan tugas-tugas yang bertentangan dengan sense of self-nya.
Lebih tepatnya, burnout disebabkan oleh jam kerja yang panjang, kondisi yang berisiko tinggi, kurangnya rasa kendali, jarak, ketidakpastian, serta tidak sebandingnya antara effort dan reward yang diterima. Beberapa orang bilang kalau passion is kinda overrated, tapi hati-hati, ketidaksesuaian antara passion dan purpose dalam hidup dengan pekerjaan juga bisa memantik munculnya burnout.
Aturan yang memaksa untuk WFH selama pandemi pun, tanpa disadari menjadi faktor penyebab burnout. Jam kerja yang jadi tidak menentu selama WFH, serta sulitnya berkoordinasi dengan rekan kerja jarak jauh. Belum lagi suasana rumah yang kurang kondusif untuk bekerja, makin memperparah rasa jenuh dan stress.
Baca juga: 5 Tips Agar Tidak Stress Menghadapi Deadline Pekerjaan
Burnout dapat dirasakan secara mental dan fisik. Mentally, kamu bakal merasa “empty & drained” atau “capek hati dan pikiran”. Akibatnya, kamu bakal kehilangan motivasi untuk melakukan pekerjaan, penuh keraguan, dan menyebabkan masalah-masalah interpersonal atau komunikasi dengan orang-orang sekitar. Bahkan, hal ini dapat berujung pada masalah kognitif, seperti sulit berkonsentrasi dan cepat lupa.
Burnout juga berefek pada tubuh, sebab mental dan fisik berjalan seirama. Physically, burnout dapat ditandai dengan seringnya merasa sakit kepala, sakit perut, dan lainnya. Pada akhirnya, burnout akan membuat kamu merasa nggak mampu mengatasi berbagai tugas dan masalah dalam hidup dan pekerjaan. It’ll leave you feeling numb. Gejala-gejala ini merupakan by-product dari stress yang berulang dan berkepanjangan.
“Work hard, play hard & ISTIRAHARD”.
Ini bukan sekadar jargon, tapi mantra yang harus kamu terapkan untuk mencapai work-life balance. Kunci untuk mencegah dan mengatasi sindrom burnout memang istirahat yang memadai. Perlu diingat bahwa kamu juga manusia biasa yang punya limit dalam segala sesuatu, termasuk pekerjaan. Sadari bahwa kamu nggak bisa selalu memberikan performa yang sempurna dalam karir, pendidikan atau kehidupan pribadi. So, try not to so hard on yourself.
Lindungi dirimu dari burnout syndrome dengan istirahat yang cukup. Get enough sleep, minimal 6 jam hingga 8 jam sehari. Kurang tidur malah memperparah stress-mu, dan menyebabkan kamu susah fokus saat bekerja. Minimize multitasking selama bekerja, coba untuk lebih fokus untuk menyelesaikan tugas satu persatu.
Baca juga: Ingin Tidur Lebih Nyenyak? Ini 9 Cara yang Bisa Dilakukan!
Selain itu, kamu harus berani bilang “tidak”. Kamu nggak bisa jadi people pleaser dengan meng-iya-kan semua orang, baik itu dalam hal pekerjaan atau ajakan hangout, yang hanya akan membuat kamu merassa overwhelmed. Yang terpenting, jangan lupa sisihkan waktu untuk me time. Ambil cuti untuk liburan (at least staycation), atau lakukan berbagai hal yang kamu sukai. Sesimpel binge watching Netflix, atau berendam dengan bubble bath ditemani scented candle dan sheet mask.
Resign dari pekerjaan mungkin bukan solusi, tapi bisa jadi pilihan terbaik bagi sebagian orang. Yang terpenting, kamu harus punya pertimbangan yang matang dan nggak tergesa-gesa. If you can’t handle it, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional atau ceritakan ke orang-orang terdekat yang kamu percayai.
Referensi: Pines, A., & Aronson, E. (1989). Career Burnout: Causes and Cures. New York: The Free Press.
Image source: Coffee vector created by upklyak – www.freepik.com, Computer vector created by pch.vector – www.freepik.com