ic-fd

Bincang Tentang Kesehatan Mental dengan dr. Jiemi Ardian, SpKJ

lifestyle
author

Poppy_Septia・29 Oct 2019

detail-thumb

10 Oktober lalu adalah World Mental Health Day. Untuk mencari tahu dan membantu meningkatkan awareness tentang hal ini, saya ngobrol-ngobrol dengan dr. Jiemi Ardian, SpKJ, seorang psikiater ternama di jagat maya yang berpraktik di Siloam Hospital Bogor dan kebetulan sudah saya follow Twitter-nya sejak lama.

 

Bincang-bincang seputar kesehatan mental pasti nggak akan singkat. Begitu juga dengan obrolan saya kali ini dengan dr. Jiemi. Ada banyak sekali yang ingin saya gali, tapi tentu saja nggak semuanya memungkinkan tersampaikan di satu waktu.

Pada kesempatan ini, saya merasa lega karena mencari tahu segala hal mendasar tentang kesehatan mental langsung dari ahlinya, dan seketika saya merasa ingin memeluk semua yang sedang berjuang menghadapi mental illness.

Kalau kamu juga merasa butuh pencerahan dari sumber yang valid, sebaiknya simak sampai selesai dan jangan lupa sebarkan bila kamu merasa tulisan ini menjawab pertanyaan-pertanyaanmu selama ini.

DR.JIEMI ARDIAN

“Menurut Dokter, apa saja faktor yang memicu banyaknya kasus mental health belakangan ini? Bagi dokter sendiri, apakah mental health awareness sudah cukup tinggi di masyarakat sekarang?”

“Ada banyak faktor yang mempengaruhi gangguan mental, mulai faktor biologi dari genetik, ketidakseimbangan kimiawi di otak, masalah hormon dan lain sebagainya; ditambah faktor psikologis seperti coping terhadap masalah, resiliensi, traumatic life experience, dll; hingga masalah sosial seperti keterasingan, isolasi, stigma dll.
Dalam beberapa tahun terakhir ini memang didapatkan angka gangguan jiwa yang terus meningkat, ada sangat banyak faktor yang memengaruhi dan tidak bisa digeneralisasi dengan sederhana. Namun yang pasti stigma dan keengganan untuk mencari pertolongan bisa memperburuk kondisi ini.
Awereness masyarakat Indonesia dalam topik kesehatan jiwa sampai saat ini masih kurang. Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya penghakiman dan penilaian negatif terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa.”

“Wah, ternyata masih kurang ya awareness-nya, padahal rasanya term ‘mental illness’ sedang banyak terdengar belakangan ini. Mungkin karena banyak disalahgunakan dan tidak dipahami dengan baik ya, Dok? Kalau begitu, bagaimana cara termudah mengenali bahwa kondisi mental kita sedang gawat dan sudah butuh pertolongan orang lain terutama pertolongan profesional?”

 “Ada empat kriteria di mana kita bisa melihat kapan seseorang membutuhkan pertolongan profesional. Khusus untuk pergi ke psikolog tidak perlu memenuhi semua kriteria ini, bahkan kita bisa ke psikolog sekedar untuk “curhat” saja. Karena, ada beberapa asumsi ketika menolak pergi ke psikolog dengan alasan “Gue nggak separah itu, kok!”, padahal pergi ke psikolog ya sebaiknya jangan nunggu parah. Semakin berat maka akan semakin panjang durasi terapi dan akan semakin panjang proses perjalanan kita pulih, maka jangan tunggu lama lama ya.
IMG_2804
Dua dari empat tanda ini muncul maka kita sudah perlu mencari pertolongan secara serius, jangan ditunda-tunda lagi apalagi berharap kondisi akan membaik dengan sendirinya. Karena biasanya tidak bisa membaik sendiri, jadi sebaiknya tidak disepelekan. Lebih baik jika kita mencari pertolongan segera.”

“Nah, sekarang ini, self-diagnose juga malah jadi seperti “tren”. Apa menurut Dokter yang jadi pemicunya?”

“Pengetahuan yang tidak utuh membuat seseorang mudah untuk melakukan self-diagnose. Padahal, kalau kita baca-baca kriteria diagnosis di Google, untuk penyakit fisik seperti tumor otak saja misalnya, kita jadi mudah mengiyakan kemiripan tanda-tanda tersebut dengan diri kita. Ketika membaca gejala tumor otak berupa “nyeri kepala terus menerus”, bisa jadi akan ada perasaan “Eh ini gue banget, jangan-jangan gue tumor!” Padahal ya belum tentu demikian, kita merasa demikian karena pengetahuan yang tidak utuh tentang tumor.
Pada gangguan jiwa pun sama, seseorang bisa saja mengaku-aku depresi atau bipolar padahal kenyataannya sama sekali bukan. Hal ini dimungkinkan karena memang pengetahuan kita terhadap topik tersebut tidak utuh. Karena ketika pengetahuan kita sudah benar, justru tidak akan melakukan self-diagnose.
Yang kedua yang mungkin juga menjadi alasan seseorang melakukan self-diagnose adalah hambatan dalam pencarian pertolongan. Misalnya psikolog dan psikiater yang lokasinya terlalu jauh, atau terlalu mahal (padahal sudah ada BPJS yang menanggung gangguan jiwa), bahkan beberapa Puskesmas di beberapa kota sudah memiliki psikolog. Sehingga lagi-lagi, informasi tentang pertolongan yang sebenarnya tersedia, belum sampai kepada masyarakat.
Tapi alasan yang paling mengganggu saya terhadap fenomena self-diagnose ini sebenarnya “over-glorifying mental disorder”. Beberapa konten di media sosial seakan melakukan promosi kesehatan jiwa, padahal yang dilakukan adalah romantisasi gangguan jiwa. Misalnya, depresi dianggap sebagai hal yang keren, bagian dari gaya hidup. Atau anoreksia dianggap sebagai kemampuan diri dalam menahan godaan makanan. Atau adanya gambar atau ilustrasi yang membuat gangguan jiwa terlihat keren dan artistik. Padahal, sama sekali tidak seperti itu. Pada beragam contoh ini gangguan jiwa di-capture sebagai hal yang keren, dan ini membuat beberapa orang tertarik melakukan self-diagnose. Sepertinya kita perlu mulai merapikan konten dari influencer untuk tidak melakukan glorifikasi terhadap gangguan jiwa.”

“Sebagai psikiater, apakah awareness yang tinggi tentang mental health ini kemudian terasa membuat jumlah pasien psikiater dan psikolog semakin banyak beberapa tahun belakangan? Seperti apa yang membutuhkan psikolog dan seperti apa yang sudah harus ditangani psikiater?”

“Belum ada data valid yang bisa saya sajikan tentang pertanyaan ini, apakah benar pencarian pertolongan terhadap psikolog dan psikiater meningkat. Namun memang dirasakan ada peningkatan secara subjektif terhadap jumlah pasien di beberapa kota beberapa waktu belakangan.
Psikolog dan psikiater adalah dua professi yang berbeda namun saling berkolaborasi untuk kesejahteraan klien. Sehingga sebenarnya mau mulai dari mana pun akan sama saja. Jika dimulai ke psikolog namun ternyata kondisnya membutuhkan penanganan obat-obatan lebih lanjut, maka sangat mungkin akan diarahkan menuju psikiater.
Begitu juga sebaliknya, jika dirasa oleh psikiater kalau klien ini membutukan konseling dengan psikolog, maka bisa saja diarahkan kepada psikolog. Tapi secara sederhana kapan seseorang perlu ke psikiater yaitu ketika gangguan yang dialaminya sudah berat dan mengganggu berbagai aspek kehidupan, atau sudah mulai mengganggu secara fisik.”
BINCANG KESEHATAN MENTAL DENGAN DR JIEMI ARDIAN 2

“Ada orang yang lebih rentan dengan gangguan kesehatan mental, ada pula yang tidak. Apakah seseorang yang rentan itu bisa berubah atau diubah menjadi tidak rentan, Dok?”

“Setiap orang terlahir dengan kerentanan masing masing. Ada yang rentan terhadap alergi, ada yang rentan terhadap diabetes, ada yang rentan terhadap hipertensi, ada juga yang rentan terhadap depresi, dan lain sebagainya. Faktor genetik adalah penentu utama dalam kondisi ini, dan ini tidak bisa diubah.
Justru sebaliknya kondisi ini perlu dipahami dengan baik sehingga kita dapat menetapkan gaya hidup yang lebih sehat untuk mencegah terjadinya gangguan lebih lanjut. Misalnya seseorang dengan kecenderungan diabetes dari orang tuanya, dia tidak bisa mengubah struktur gen ini. Yang justru bisa dilakukan adalah menyadari bahwa dia punya kerentanan tehadap diabetes, sehingga dia perlu menjaga pola makan, berolahraga, istirahat dengan cukup, untuk mencegah terkena penyakit diabetes.
Pada gangguan jiwa pun sama, kita tidak bisa mengubah kerentanan yang sudah ada. Tapi kita bisa melakukan sesuatu terhadap gaya hidup untuk mencegah kerentanan ini  semakin berkembang. Jika sekalipun akhirnya berkembang menjadi gangguan yang nyata, alih-alih menyangkal dan tidak mau mencari pertolongan, sikap yang lebih tepat justru dengan mengakui bahwa kerentanan ini sudah menjadi gangguan dan sudah perlu mendapatkan pertolongan. Early detection dan early intervention menjadi penting ketika kita menyadari kerentanan ini. Jujur pada diri sendiri dan penerimaan kondisi itu sangatlah krusial, meskipun pada prosesnya mungkin tidak mudah untuk dilakukan. Tapi mengakui bahwa dirinya sudah butuh pertolongan itu tidak membuat seseorang lantas menjadi lemah atau pribadi yang tidak berharga, justru hal itu akan membantu mencegah keadaan semakin memburuk.”

“Apakah pasien gangguan kesehatan mental yang berjenis kelamin perempuan jumlahnya lebih banyak dengan laki-laki, mengingat perempuan lebih lembut dan mudah merasa insecure?”

“Pada beberapa gangguan jiwa didapatkan jumlah pasien perempuan lebih banyak, tapi pada beberapa diagnosis atau beberapa kondisi justru sebaliknya, laki-laki lah yang lebih banyak. Hal ini bukan berarti karena perempuan lebih perasa, sehingga lebih mudah terjadi gangguan jiwa. Ada juga fenomena di mana laki-laki terkesan lebih jarang datang ke psikolog atau psikiater, tapi hal ini disebabkan karena lebih sedikit pula laki-laki yang mau mengakui dirinya butuh pertolongan atau bersedia mendapatkan pertolongan. Stigma terhadap laki-laki yang mengatakan bahwa laki-laki harus selalu kuat, tidak menangis, memendam respon emosionalnya, justru menjauhkan laki-laki dari pencarian pertolongan.
KESEHATAN MENTAL 3
Kalau ada yang mengatakan wanita makhluk emosional dan laki-laki makhluk rasional, ini pandangan yang keliru. Wanita juga bersikap rasional dan laki-laki juga bersifat emosional. Pandangan masyarakat sebaiknya sudah tidak bisa hitam-putih. Pandangan polarisasi tadi bisa memperberat cara pikir masyarakat bahwa laki-laki itu tidak boleh emosional, sehingga justru makin menjauhkan laki-laki dari pencarian pertolongan, membuat laki-laki merasa sanggup mengatasi segalanya sendiri, hingga akhirnya malah terpuruk dan tidak kuasa menahan semuanya.”

“Ada tips menuju healing yang lebih baik dan lebih tentram?”

 “Ada banyak cara untuk membuat seseorang sejahtera jiwanya, tapi tentu tidak ada tips khusus yang cocok untuk semua orang. Jika teman-teman merasa cocok dengan tips yang akan teman-teman baca, maka boleh dilanjutkan, tapi jika tidak, maka boleh juga mari cari penjelasan lain.
Salah satu cara termudah adalah memperbaiki gaya hidup. Termasuk memperbaiki apa yang kita makan, mengurangi junk food (orang yang mengkonsumsi junk food lebih mungkin terkena depresi ketimbang orang yang makan sehat), berolahraga secara teratur (olahraga dapat meningkatkan endorfin yang membuat kita lebih bahagia), atur waktu tidur dan belajar mengelola stress.
KESEHATAN MENTAL 2
Kita tidak akan bisa menghilangkan stress, tepatnya bahkan kita membutuhkan stress. Tanpa stress waktu SD kita menghafal abjad A-Z, maka kita tidak akan bisa membaca sekarang. Stress dibutuhkan untuk seseorang bertumbuh, tapi stress yang berlebihan juga dapat menjadi bahaya kesehatan. Sehingga kita perlu mengenali batasan batasan diri, kapan stress ini berlebihan dan kapan stress ini cukup untuk membuat saya bertumbuh. Ketika stress sudah menekan atau dirasa berlebihan, maka sudah waktunya untuk beristirahat dan dikelola lebih baik.”

“Apa saja yang perlu dilakukan, khususnya oleh para perempuan, untuk meningkatkan self-love dan self-esteem serta mengurangi tingkat stress sehari-hari?”

“Kadang kita terjebak dalam polarisasi yang keliru. Misalnya ketika kita menerima kekurangan maka artinya kita tidak berkembang, atau jika kita mendorong diri sendiri bertumbuh maka artinya kita tidak menerima kekurangan. Padahal tidak selalu demikian. Kita bisa menerima kekurangan sekaligus bertumbuh dari kekurangan. Kita bisa salah, menerima kesalahan, dan bertumbuh dari kesalahan dalam waktu yang bersamaan. Tidak perlu menghukum diri sendiri atau memaki diri sendiri untuk kita bertumbuh lebih baik. Itulah cara untuk mencintai diri sendiri.
Mencintai diri sendiri dimaksudkan bukan hanya menerima diri sendiri apa adanya, tapi juga mengubah hal-hal yang memang dirasa bisa bertumbuh. Mencintai diri sendiri bukan mengubah dengan cara-cara yang keras dan menghakimi, tapi dengan menerima dan terus mendorong ke arah perubahan.
KESEHATAN MENTAL 4
Berhenti juga membanding-bandingkan diri sendiri dan orang lain sehingga membuat diri sendiri merasa minder. Setiap orang punya kecepatan dan kekuatannya masing masing, membandingkan diri sendiri dengan orang lain sama seperti membandingkan sebuah bus tujuan Harmoni dengan tujuan Kalideres, nggak nyambung. Membandingkan diri sendiri dan orang lain juga bisa menjebak kita ke dalam jalan yang sedang dijalani orang lain, padahal itu bukan jalan kehidupan kita. Yang akhirnya membuat kita merasa hampa dan kosong, karena itu memang bukan arah yang baik untuk kita. Itu adalah jalan kehidupan orang lain yang kita pandang menarik dan kita anggap cocok untuk kita. Maka berhentilah membanding-bandingkan diri dengan orang lain, hanya bandingkan dirimu dengan dirimu sebelumnya. Jika dari waktu ke waktu kamu merasa lebih baik dan bertumbuh, maka itu sudah cukup.”

“Menurut Dokter, sejauh apa pemerintah perlu terlibat dalam perbaikan kondisi kesehatan mental masyarakat? Untuk menghindari ‘Indonesia menjadi negara kesekian dengan tingkat suicide tertinggi’, misalnya.”

“Kesehatan mental bukan hanya perkara individu, tapi juga perkara politis. Kebijakan dan anggaran benar-benar dibutuhkan untuk mendorong Indonesia yang sehat jiwa. Jadi benar peran pemerintah besar sekali untuk mempromosikan kesehatan jiwa. Termasuk adanya undang-undang tentang kesehatan jiwa yang mendorong seseorang untuk mencari pertolongan, dan ada ancaman hukuman pula jika kita menghalang-halangi orang untuk datang ke psikolog atau psikiater. Berbagai kebijakan juga harus dibuat, misalnya kebijakan sebuah Puskesmas harus memiliki psikolog, atau sebaran tenaga kesehatan jiwa yang lebih merata, atau pelatihan dokter umum di Puskesmas untuk memberikan layanan kesehatan jiwa. Beberapa hal sudah dilakukan oleh pemerintah dan saya sangat berharap fokus pemerintah terhadap hal ini punya perkembangan yang membaik dari tahun ke tahun.”

“Terakhir, tentang menjadi caregiver atau pendamping.  Adakah cara agar seseorang tetap menjaga kesehatan mentalnya, ketika dia memiliki pasangan / sahabat / orang tua atau orang terdekat lainnya yang punya mental illness? Mengingat menjadi supportive dalam segala bidang dan waktu juga kadang tidak mudah.”

“Menjadi support system tidak pernah mudah, tapi jawabannya terletak pada istilah pada kata itu sendiri: “system”. Jadi jangan pernah berfikir bahwa menjadi caregiver berarti kita sendiri yang harus bertangungjawab terhadap orang lain. Kesendirian dalam merawat ini bisa jadi sangat melelahkan. Akan lebih baik kita bekerjasama dengan orang orang lain, dengan keluarga lain, dengan sahabat lain, dan jangan lupa kita sendiri juga perlu memiliki dukungan dari tempat lain. Sehingga ketika ada kalanya kita merasa lelah, ada orang lain dalam sistem tersebut yang bisa mendukung.
Yang tidak kalah penting juga pelajari baik-baik dari sumber yang valid, tentang gangguan kejiwaan yang sedang dialami. Sehingga kita dapat memahami apa yang bisa kita harapkan, apa yang rasional, apa yang bisa kita ingatkan dan dukung, dan apa yang perlu kita terima dan sadari. Seringkali beberapa caregiver merasa bertanggungjawab untuk menyembuhkan orang yang dia sayangi, menurut saya ini adalah cara pikir yang sangat berbahaya. Kita tidak bisa menyembukan orang lain, yang bisa kita lakukan adalah memahami dan mendukung. Sembuh atau tidak itu sesuatu yang di luar kendali kita, yang bisa kita lakukan hanya berusaha melangkah kepada kesembuhan.
Sadari batasan diri, ketika dirasa sudah menjadi mengganggu kesejahteraan, maka kita perlu mengambil jarak sejenak dan mengizinkan orang lain juga menolong.”
Hati saya hangat dan saya selalu merasa content, setiap kali selesai berbincang dengan seseorang yang bisa membuat saya belajar dan mensyukuri banyak hal, seperti dengan dr. Jiemi Ardian ini. Apa yang kamu rasakan setelah membaca ini? Semoga kamu – baik seorang penyintas maupun seorang caregiver, setelah ini bisa memperbaiki pola hidup dan cara pandang tentang kesehatan mental, serta lebih menghargai diri sendiri dan sekitarmu.