backstage beauty
10 minutes ago
Koleksi Bag Charms: Serunya Menambahkan Sentuhan Personal di Tas, Konsumerisme, dan Identik dengan Perempuan
Sebagian orang suka memakai bag charms untuk memberi kesan personal. Tapi, aksesori ini dianggap bagian dari konsumerisme karena konsumen didorong untuk terus membeli. Bahkan identik dengan perempuan karena aksennya yang ramai.
Baru-baru ini, bag charms kembali happening di pasaran. Kamu bisa menemukan yang harganya puluhan ribu sampai jutaan rupiah. Bentuknya pun beragam: tamagotchi, plush, mini bag, lipstik, gantungan kunci, karakter menggemaskan seperti Crybaby x Power Puff Girls dan Labubu. Aksesori ini bukan sekedar pelengkap tas, tapi personal statement Gen Z untuk mengekspresikan diri.
Popularitas bag charms kembali naik karena tren hyper-feminine dan girlcore. Sebenarnya, enggak ada hal spesifik yang menggambarkan dua konsep ini, baik itu warna ataupun gaya berpakaian. Hyper-feminine dan girlcore direpresentasikan lewat karakteristik girlishness, atau gaya yang feminin banget. Misalnya memakai rok mini dengan kaos kaki panjang, pakaian dengan aksen pita, dan berbagai aksesoris di tas yang mencuri perhatian.
Baca juga: Punya Model Unik dan Cantik, Ini Deretan Brand Tas Asal Asia yang Layak Dilirik!
Meski kelihatannya baru jadi tren, luxury brand seperti Louis Vuitton, Fendi, dan Hermès lebih dulu merilis bag charms pada 2000-an. Mereka ingin membangun citra “mewah bukan berarti membosankan”. Makanya, sederet public figure yang memakai tas Birkin pun ikut memasang bag charms. Salah satunya Mary-Kate dan Ashley Olsen di awal tahun 2000-an.
Bahkan, di fashion show terbarunya beberapa bulan lalu, Balenciaga menampilkan tas Rodeo dengan kunci dan gembok berukuran besar. Sedangkan Coach menggantungkan bag charms dengan aksesoris bernuansa New York City, seperti gantungan kunci Patung Liberty dan Big Apple. Tapi, kenapa ya aksesori dinilai memberikan personal touch?
Bag charms, sentuhan personal, dan konsumerisme
Bag charms dinilai memberikan personal touch dan lebih stand out bagi si pemilik tas. Soalnya, walaupun tipe tasnya banyak digunakan orang lain, bag charms menunjukkan karakteristik individu berdasarkan aksesoris yang digantung.
Alasan itu juga yang membuat Jane Birkin—aktor dan penyanyi yang namanya menginspirasi salah satu tas Hermès—menyukai bag charms. Ia dikenal sebagai pelopor aksesori ini dan pendekatannya yang inovatif, dengan aksesori bernuansa bohemian. Sejak saat itu, Birkin menjadi tolok ukur penggemar bag charms.
Selain Birkin, Lori Hirshleifer—pemilik toko retail Hirshleifers asal New York, AS—juga menampilkan identitas diri lewat bag charms. Dikarenakan ia memelihara dua ekor corgi, Hirshleifer memilih icon anjing tersebut untuk menghias tasnya. Ada juga Lisa BLACKPINK, yang menggantungkan Labubu di tas Louis Vuitton miliknya.
Di TikTok dan Instagram pun, tak sedikit yang “berlomba” menghias tasnya dengan bag charms. Makanya, belakangan ini, bag charms dicap merepresentasikan konsumerisme karena melambangkan status sosial.
Mungkin awalnya kamu membeli bag charms karena gemas, sekaligus ingin menggambarkan identitas diri. Namun, harganya yang nggak murah—contohnya yang dirilis Pop Mart, secara nggak langsung justru melambangkan status sosial. Ibaratnya, bag charms seharga ratusan ribu atau jutaan bisa memvalidasi statusmu, menambah kesan “mewah” pada penampilan.
Baca juga:
Tapi, bukan berarti ini salah konsumen. Ada faktor perusahaan bag charms yang mendorong supaya konsumen terus membeli. Misalnya dengan mengeluarkan edisi terbaru atau limited edition, untuk meningkatkan penjualan. Alhasil, konsumen pun tertarik untuk up-to-date dengan edisi terkini. Padahal, kelihatannya esensi bag charms nggak lebih dari “meramaikan” tas.
Kesan “tas yang ramai” itu juga yang membuat bag charms identik dengan citra perempuan.
Identik dengan perempuan
Belum lama ini di X (dulunya Twitter), netizen membahas bahwa bag charms identik dengan perempuan. Nggak lain nggak bukan, alasannya karena perempuan suka menggunakan aksesori, dan bag charms melekat dengan citra girlcore maupun hyper-feminine. Aksesori ini lekat dengan citra perempuan gara-gara stereotip, perempuan suka mengoleksi barang-barang nggak penting—seperti photocard, gantungan kunci, dan boneka.
Padahal, kalau kita membahas “koleksi barang yang nggak penting”, laki-laki pun punya hobi yang sama. Misalnya mengoleksi jersey sepak bola, action figure, atau mobil-mobilan. Dan mereka nggak dipermasalahkan karena citranya maskulin.
Baca juga: Mulai FOMO atau Sudah Koleksi? Simak Sejarah Blind Box yang Perlu Kamu Tahu!
Penilaian ini dipengaruhi oleh budaya patriarki, yang menganggap perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Akibatnya, sesederhana hobi dan hal-hal favorit perempuan dianggap lebih rendah.
Walaupun demikian, ini bukan alasan harus membatasi kesukaanmu mengoleksi bag charms. Dan bukan berarti hobi ini nggak penting, hanya karena akrab dengan citra perempuan. Because it shouldn’t have been defined by any particular gender. As long as you’re happy with it, able to buy or create your own charms, just go for it!
Images: Dok. Instagram, Dok. Vogue, Dok. Brands