ic-fd

Apakah Beauty Brands Tetap Bisa Relevan Tanpa Media Sosial di Era Digital Seperti yang Dilakukan LUSH?

backstage beauty
author

Vania Evan・29 Mar 2023

detail-thumb

Ketika brand-brand beauty di dunia berlomba-lomba menghasilkan konten berkualitas di ruang digital, LUSH justru meninggalkan medsos. Apa alasan di baliknya dan apakah relevan diikuti pemain industri kecantikan Indonesia?

 

Beberapa tahun ke belakang, hampir semua perusahaan di banyak sektor berlomba-lomba menguatkan digital presence-nya di berbagai platform media sosial, LUSH brand asal Inggris dengan lini kosmetik yang handmade, vegan, serta cruelty free justru malah mengumumkan akan tidak aktif lagi di Instagram, TikTok, Facebook, Snapchat, dan WhatsApp di 48 negara tempat mereka beroperasi.

Gerakan bertajuk Anti-Social Media Policy yang dimulai November 2021 ini bukan merupakan kali pertama LUSH secara berkesadaran memutuskan untuk tidak menggunakan media sosial sebagai kanal promosi, edukasi, juga menjaga relasi dengan pelanggan-pelanggannya. Pada 2019, LUSH juga sempat melakukan hal serupa, namun terpaksa kembali ke media sosial ketika pandemi membuat seluruh transaksi hanya bisa dilakukan secara daring.

Alasan di balik keputusan ini, mengutip Chief Digital Officer LUSH Jack Constantine adalah karena penggunaan media sosial berkebalikan dengan esensi dari produk-produk dari LUSH sendiri. “Sebagai penemu bath bomb, kami di LUSH telah mengerahkan tenaga untuk membuat produk yang membantu orang untuk rileks dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Media sosial telah menjadi antitesis dari niat ini, dengan algoritma yang didesain untuk membuat orang scrolling tanpa henti dan menghalangi mereka untuk benar-benar rileks,” kata Jack.

Per waktu penulisan artikel ini, Instagram LUSH hanya berisi 9 postingan yang merupakan potongan-potongan dari satu kesatuan grafis yang bertuliskan “Be Somewhere Else” dengan caption yang menyarankan pengunjung akun medsosnya untuk mengurangi scrolling dan hadir penuh dalam kehidupan nyata.

Kami mau engage dengan kalian di tempat-tempat yang memang mempedulikan kalian dan kesejahteraan mental kalian,” begitu secuil potongan caption yang mendampingi sembilan postingan di Instagram LUSH.  

Meski tidak mengunggah apa-apa di Instagram, TikTok, Facebook, Snapchat, dan WhatsApp, LUSH tetap menggunakan Twitter untuk platform pelayanan pelanggan. Mereka juga masih memproduksi newsletter untuk didistribusikan melalui email, menggunakan Pinterest untuk konten-konten inspirasional, serta menumbuhkan kehadiran mereka di YouTube. LUSH juga berencana untuk lebih sering mengadakan event-event luring, melakukan community activation, dan menyebarkan katalog fisik seperti yang banyak dilakukan beberapa belas tahun lalu.

 

Apakah LUSH yang pertama dan satu-satunya?

Doc: www.bottegaveneta.com

Gerakan LUSH meninggalkan kanal media sosial mereka di era digital bukanlah gerakan yang benar-benar orisinil. Beberapa luxury brand juga pernah melakukan hal serupa, seperti Bottega Veneta yang mengejutkan industri fashion dengan menghapus media sosial mereka secara tiba-tiba di Januari 2021 sebelum merilis majalah digital per kuartal yang bernama Issue pada bulan April di tahun yang sama.

Meski sudah tidak menggunakan media sosial untuk terhubung dengan pelanggan serta fanbase-nya, Bottega Venetta tetap menjaga kehadiran mereka dalam jaringan sosial melalui kerjasama dengan ambasador dan juga fans mereka, dengan harapan mereka-mereka inilah yang akan jadi perpanjangan tangan Bottega Venetta untuk mempromosikan brand-nya dari mulut ke mulut.

Strategi yang serupa juga dilajukan Balenciaga pada tahun 2021, tepatnya di bulan Juni. Balenciaga menghapus grid Instagram mereka sampai benar-benar tidak ada unggahan sama sekali, dan sejak itu terus melakukannya secara periodik. 

 

Apakah relevan jika strategi ini diterapkan brand lokal?

Lush cosmetics tutup

Ada persamaan dari ketiga brand yang memutuskan untuk rehat dari media sosial di atas: ketiganya sama-sama sudah memiliki fanbase yang loyal. Selain itu, ketiganya sudah memiliki banyak flagship store di berbagai belahan dunia, sehingga meski tanpa media sosial, pelanggan tetap dapat membeli produk-produk mereka secara langsung di toko fisik mereka.

Melihat dari data, mayoritas sumber penjualan produk LUSH pun tidak didominasi oleh pembelian lewat media sosial. Mengutip dari VOGUE Business, transaksi langsung dari media sosial, tidak termasuk pembeli yang melihat produk LUSH dari media sosial namun membelinya dari point of sales lain, terhitung hanya sebesar 0,5% dari total penjualan mereka. 

Dari data tersebut, keputusan LUSH untuk tidak aktif di media sosial sudah terkalkulasi. Mengurangi porsi prioritas ke kanal yang tidak terlalu banyak mendatangkan transaksi, dalam hal ini media sosial LUSH, menjadi pertimbangan bisnis yang sangat masuk akal.

Baik LUSH maupun Bottega Venetta pun tidak benar-benar menghilang dari media sosial dan berbagai platform daring. Keduanya tetap mengatur kerjasama-kerjasama untuk memantik perbincangan mengenai brand mereka di ruang digital. LUSH bahkan lebih aktif mengunggah video YouTube dibandingkan sebelum gerakan Anti-Social Media ini. Tim LUSH pun tetap memantau pesan-pesan yang masuk di media sosial, seperti kata Jack Constantine pada VOGUE Business, “Kami akan memonitor platform-platform [media sosial]  tersebut lebih dari sebelumnya. Hal terakhir yang ingin kami lakukan adalah mengabaikan masukan dari pelanggan.”

Dapat dikatakan, alasan LUSH untuk meninggalkan lima platform media sosial yang cukup banyak digunakan orang merupakan kebijakan yang strategis jika melihat dari data penjualan mereka, serta sangat berlawanan dengan DNA brand mereka.

Sehingga, jika brand lokal ingin mengikuti jejak LUSH dengan menghilang dari dunia media sosial, perlu benar-benar mempertimbangkan banyak hal. Memilih untuk menjadi beda tentu dapat mendatangkan sorotan yang lebih banyak dibanding biasanya, namun jangan sampai keputusan itu tidak berdasar pada alasan yang kuat dan tidak didukung oleh strategi-strategi pengganti. Bagaimanapun, di belahan mana pun di dunia, pelanggan industri apapun punya satu kesamaan: mereka menghargai kejujuran. Jika strategi ini dilakukan berangkat dari keinginan untuk ikut-ikutan atau demi viral belaka, hati-hati menghilangkan satu hal yang paling berharga dari konsumen, yaitu kepercayaan mereka.