ic-fd

'Lipstick Effect', Alasan Kenapa Lipstik Laku Keras Saat Masa Sulit

backstage beauty
author

Vania Evan・21 Feb 2023

detail-thumb

Memasuki tahun 2023 dengan perkiraan resesi ekonomi di sepertiga negara di dunia, konsumsi beauty products justru diprediksi melambung naik. Kok bisa?

 

Ketika penyebaran pandemi COVID-19 sedang memuncak pada 2020 lalu dan kita semua menjalankan swakarantina di rumah, saya kira saya tidak akan membeli makeup sama sekali. Dugaan saya salah. Saya masih membeli lipstik meski berbulan-bulan di rumah aja. Bahkan waktu karantina melonggar dan kita sudah mulai pergi keluar rumah dengan syarat menggunakan masker, saya pun tetap membeli lipstik meski bibir tertutup masker. Ada yang bisa relate? 

I don’t know about you, tapi saya merasa membeli makeup atau barang-barang lainnya cukup menghibur di kala kebosanan melanda saat karantina, terutama pada proses unboxing paketnya. Menarik ya, masa sulit seperti pandemi dan keharusan karantina panjang berbulan-bulan ternyata justru tidak membuat orang-orang mengencangkan ikat pinggang dan menahan dorongan untuk belanja. 

Pada akhir 2022, sudah mulai banyak berita soal resesi yang diprediksi terjadi pada 2023. Bukan cuma kabar burung semata, beberapa startup besar Indonesia pun memutuskan untuk melakukan layoff karyawan besar-besaran. Kira-kira bagaimana purchasing behaviour orang-orang ketika menghadapi resesi? Apakah kecenderungan orang untuk lebih banyak belanja di pandemi (setidaknya seperti saya waktu itu) akan kembali terjadi saat resesi?

 

Lipstick Effect

lipstick effect

Ternyata, kecenderungan saya yang malah banyak belanja di tengah pandemi juga dialami oleh banyak orang di dunia. Data dari perusahaan riset pasar NPD Group mencatat penjualan lip color naik 48% di 2022 awal waktu pandemi awal menyerang dibandingkan dengan 2021. Lebih dari dua kali pertumbuhan pembelian produk-produk beauty lain. Hal yang sama juga terjadi setelah tragedi 9/11 di Amerika Serikat, menurut pantauan CEO Estée Lauder, Leonard Lauder. Kecenderungan ini disebut dengan istilah Lipstick Effect. 

Istilah ini sudah beredar lumayan lama, dan dicetuskan oleh sosiolog dan ekonom professor Juliet Schor dalam bukunya The Overspent American yang terbit pada tahun 1998. Beliau menemukan bahwa kecenderungan perempuan untuk splurge pada barang-barang yang lebih mahal justru semakin tinggi di kala masa-masa sulit dengan alasan psikologis.

Mengapa lipstik? Menurut Schor, lipstick termasuk dalam kategori affordable luxury. Tidak terlalu mahal sampai membuat tabungan habis, tapi tetap memberikan perasaan senang. Dengan konsep ini, barang yang jadi lebih banyak dilirik di saat zaman sedang tidak baik-baik saja jadi tidak terbatas pada lipstik. Bisa saja bentuknya kutek, fragrance, atau scented candle, misalnya.

 

Apakah lipstick effect jadi menguntungkan bagi brand lokal?

lipstick effect

Mengingat brand-brand buatan dalam negeri di industri beauty disambut dengan sangat baik oleh beauty enthusiast salah satunya karena harganya yang terjangkau, ada kemungkinan bahwa pemain industri beauty lokal yang akan meraup keuntungan dari lipstick effect ini.

Namun, menurut saya, justru brand-brand internasional yang akan banyak dilirik pada resesi tahun 2023. Belum ada data yang memvalidasi prediksi ini, tapi bukankah ketika sedang tidak baik-baik saja, seringkali kita tergoda utnuk mencoba cara-cara ekstra untuk menghibur diri? 

Ketika brand lokal sudah menjadi sesuatu yang biasa dipakai sehari-hari, brand internasional jadi punya kharisma lebih dalam konteks ini. Ditambah lagi, kini sudah ada banyak fitur pendukung untuk mencoba beauty products yang tidak beredar di Indonesia mulai dari menjamurnya jastip hingga fitur worlwide shipping dari marketplace. 

 

Hibur diri sesuai caramu sendiri

Bagaimana pun caramu menghibur diri sendiri, baik itu membeli lipstik, barang affordable luxury lain, atau bahkan full-on luxury, teori lipstick effect hadir bukan untuk menghakimi. Justru, kalau saya, jadi merasa tervalidasi karena perubahan pola konsumsi ini ternyata dialami banyak orang lainnya di dunia.

Meski demikian, semoga usaha untuk bertahan di tengah resesi tidak sampai melahirkan keputusan-keputusan yang akan kamu sesali. Pada akhirnya, self-care tidak seharusnya dijadikan tameng untuk pengeluaran tidak sesuai kapasitas yang malah akan memicu stres hanya untuk membutuhkan bentuk-bentuk self-care lainnya lagi. Semoga kamu menemukan caramu sendiri untuk mengarungi masa-masa sulit apapun, kini dan nanti.

 

Images: Dok. iStock, Freepik.