style
22 Jun 2021
Fast Fashion Ternyata Jadi Penyumbang Sampah Lingkungan
Mari berhitung! Seberapa banyak pakaian yang Anda beli dalam kurun waktu satu bulan? Pernahkah terpikir dalam benak kita, berapa banyak bahan yang dibutuhkan untuk membuat pakaian tersebut? Bagaimana dampak bahan-bahan tersebut untuk lingkungan kita? Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan kian hari kian menurun. Banyak masyarakat merasa bahwa tanggung jawab untuk melestarikan lingkungan hanya dapat dilakukan sebagian pihak saja, padahal untuk menjaga lingkungan butuh bantuan dari semua pihak.
Dahulu belanja pakaian merupakan tradisi yang dilakukan setelah seseorang gajian. Namun sekarang beli baju bisa kapan saja, didukung dengan makin banyaknya orang yang menjual baju dengan harga sangat terjangkau. Lihat saja di e-commerce, banyak banget baju model kekinian yang harganya mulai dari Rp30.000! Siapa sih yang nggak tergiur untuk memilikinya? Bisa up-to-date, tapi dengan budget yang minim.
Semua hal ini terjadi karena adanya sistem global supply chain, sebuah metode yang efektif dalam menghadapi high demand, untuk mendapat keuntungan maksimal. Di zaman yang serba cepat dan instan ini, banyak orang tidak menyadari pembelian baju-baju yang dibentuk oleh proses globalisasi tersebut menimbulkan banyak dampak. Mulai dari sampah yang sangat tidak ramah lingkungan hingga pemberian upah kepada buruh juga dilakukan secara tidak layak.
Contoh nyata terjadi di Bangladesh dengan munculnya fenomena “mengejar jarum”. Fenomena ini terjadi karena para buruh dituntut untuk menyediakan pakaian dengan cepat, sehingga memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan dengan imbalan upah seadanya. Hal tersebut berimbas dengan tewasnya 1.138 pekerja pabrik pakaian, di Dhaka Bangladesh pada tahun 2014. Maka dari itu, terjadilah aksi demonstrasi oleh para warga, agar meningkatkan kesejahteraan buruh.
Memperoleh keuntungan sebesar US$ 35 miliar atau setara dengan 495 triliun pada tahun 2018, belum juga membuat industri ini sadar pengaruhnya terhadap lingkungan. Diketahui industri ini menghasilkan microfiber sebesar 50 miliar plastik per tahun, serta terbentuk emisi sebanyak 1.715 juta ton karbon dioksida per tahun. Tidak berhenti sampai disitu, fakta menyebutkan bahwa pembentukan 1 kaos katun akan menghabiskan 2.700 liter air, setara dengan pengkonsumsian air minum 1 orang selama kurang lebih 2,5 tahun. Polusi tanah juga akan terbentuk. Jika tidak ditangani secara tepat, hal ini akan menyebabkan perubahan iklim. Sangat disayangkan apabila bumi kita yang asri ini akan dirusak oleh perilaku sementara kita.
Jika dirunut lebih dalam, hadirnya industri fast fashion ini berawal dari banyaknya permintaan kita dalam model pakaian yang sedang naik daun. Retailer besar hadir dengan menawarkan solusi permasalahan tersebut, yaitu menyediakan pakaian yang murah dan ngetren padahal mengesampingkan kualitas garmen itu sendiri.
Oleh karena itu, mulailah kita lebih menyayangi bumi ini dengan perlahan untuk mengurangi konsumsi pakaian murah. Mulailah untuk mengontrol diri dan mengurangi membeli pakaian. Kita dapat menggunakan baju bekas atau baju-baju lama yang layak pakai (thrifting). Jika terpaksa, kita dapat membeli barang berdasarkan kualitasnya, atau memilih brand fashion yang sustainable Fashion. Opsi lain yang dapat dilakukan adalah dengan mendaur ulang pakaian, jika kita bosan dengan model tersebut. Tidak hanya itu, kita dapat memperbanyak sewa atau pinjam pakaian agar dapat menyelamatkan lingkungan.
Sebetulnya, banyak sekali hal-hal yang dapat dilakukan kita sebagai konsumen sandang untuk menyelamatkan lingkungan. Marilah perlahan bersama mengurangi pembelian pakaian murah.