“Saya Faye Simanjuntak. Motto hidup saya adalah ‘melayani Tuhan dengan menghargai dan menolong sesama’,” tulis Faye kecil di selembar kertas saat usianya masih 11 tahun.
Faye Hasian Simanjuntak, gadis 18 tahun dengan mimpi dan misi besar, pendiri dari Rumah Faye, sebuah organisasi sosial independen untuk isu perlindungan anak. Sudah lama saya memperhatikan sosok Faye yang begitu vokal menyuarakan hak-hak anak di Instagram dan berbagai media platform lainnya. Saya sempat keheranan. Padahal, dirinya sendiri “masih anak”.
Karena sangat penasaran, saya mulai mencari tau soal Faye lebih dalam. Diawali karena memilih topik perdagangan anak untuk tugas makalah sekolah saat masih SD, pandangannya terhadap anak dan dunia pun berubah. Untuk menyalurkan keresahannya, berbekal juga dengan dukungan dari keluarga, di usianya yang baru menginjak 11 tahun, ia mampu mendirikan sebuah rumah di Batam untuk anak-anak korban kekerasan yang disebutnya ‘Rumah Aman’; Rumah Faye (2013).
Baca juga: Jangan Diam Terhadap Perilaku Abuse, Kenali Tanda-Tandanya!
Misi besar yang dibawa oleh Rumah Faye adalah untuk memberikan edukasi, laporan, perlindungan, serta pendampingan terhadap anak-anak korban-atau rentan menjadi korban-kekerasan dan eksploitasi anak. Sejalan dengan hal tersebut, Rumah Faye memiliki tiga program utama; prevention, rescue, dan rehabilitation, yang kemudian juga melahirkan anak-anak program lainnya. Sampai Februari 2020 kemarin, sudah ada 90 anak serta 5 bayi yang diselamatkan dan ditampung di Rumah Faye. Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mewawancarai Faye langsung. Yuk, simak obrolan kami di bawah ini!
Yang pertama kali terlintas di benak saya ketika mewawancarai Faye adalah, seperti apa kesulitan yang seorang anak 11 tahun hadapi ketika membangun organisasi sosial untuk isu sekompleks dan sesensitif perlindungan anak. Faye pun mengakui, terlepas dari kesulitan-kesulitan yang ada ketika pertama kali membangun Rumah Faye, Faye juga mendapatkan dukungan yang luar biasa dari keluarga, baik secara finansial maupun moral. Bahkan, terlepas dari banyaknya pekerjaan dan kesibukan, kedua orang tua Faye berkomitmen untuk menemaninya melakukan research satu jam setiap harinya. “Nggak sah rasanya bagi aku untuk mengatakan kesulitanku banyak banget,” jelasnya.
Akan tetapi, bila harus membawa pertanyaan ini pada jawaban yang lebih konkret, kesulitan utama yang Faye hadapi ada dua, yaitu penjangkauan masyarakat dan pengelolaan emosi. Meski ditemani melakukan research, Faye masih belum bisa menjangkau daerah-daerah akar rumput di mana kekerasan dan prostitusi anak sering terjadi. Kebanyakan masyarakat melihat Faye sebagai “orang luar”, apalagi dirinya masih anak-anak, sehingga cukup mengejutkan bila dia tiba-tiba lantang berbicara mengenai kekerasan anak, isu yang masih asing di telinga banyak orang. Mengatur emosi juga menjadi kesulitan yang cukup berat untuk Faye. “Belajar untuk mengontrol emosi itu sulit sekali, kita nggak bisa mematikan emosi anak, tetapi juga tidak boleh menangis di depan mereka atau menjadi terlalu emosional. Menyeimbangkan kedua hal itu susah banget.”
Ternyata, nggak cuma berdampak pada sektor ekonomi dan kesehatan, pandemi juga memberikan dampak yang cukup siginifikan terhadap kasus kekerasan wanita dan anak. Di Rumah Faye sendiri, per 2020 sejak pandemi, ada sebanyak 42 anak baru yang masuk ke “rumah aman”. Angka ini dua kali lipat lebih banyak dari jumlah anak yang masuk sebelum COVID-19. Bukan hanya angka kasus yang meningkat, tingkat “keparahan”-nya pun juga meningkat. Ditambah lagi, layanan-layanan yang dibutuhkan untuk membantu resource yang ada di Rumah Faye seperti layanan kesehatan, pendidikan, serta pendampingan hukum, semakin terbatas. Program-program penjangkauan masyarakat juga jadi sulit dilakukan.
Baca juga: Kekerasan Seksual Online Semakin Mengancam, Kenali Bentuk dan Cara Mencegahnya!
Meski begitu, Rumah Faye tetap berusaha melakukan adaptasi serta inovasi pada program-program yang sudah ada sebelumnya. Salah satunya adalah dengan melakukan konseling saat kelas tembikar. “Anak-anak juga justru lebih banyak berinisiatif ketika pandemi,” tambah Faye. “Bahkan mereka mengajukan diri untuk membuat webinar dan membersihkan pantai setiap dua bulan sekali karena jarang dikunjungi”. Bagi anak-anak, waktu luang yang ada karena wabah jadi bisa dimanfaatkan untuk lebih kreatif dan produktif.
Berkesempatan mewawancarai Faye, saya juga ikut berbicara mengenai kekerasan dan eksploitasi anak di industri kecantikan. Mungkin kita sering mendengar konsep sustainable dan ethical beauty, yang mengedepankan bahwa aktivitas kecantikan tidak boleh membahayakan lingkungan atau makhluk hidup. Tetapi, masih jarang terdengar soal child cruelty-free atau ethical labor yang seharusnya juga menjadi bagian dari ethical beauty itu sendiri. Faktanya, banyak bahan baku kosmetik maupun skincare yang diperoleh dengan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. “Di Indonesia sendiri, memang paling banyak kasusnya di palm oil, banyak sekali kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Pekerja di sana juga biasanya nggak terdaftar,” ungkap Faye.
Baca juga: Kisah Miris Dibalik Pembuatan Highlighter
Isu ini jarang dilaporkan dan mendapat perhatian karena anak-anak sendiri tidak tahu bahwa hal tersebut salah. Di sisi yang lain, karena tingginya angka kemiskinan di Indonesia, mereka terkadang merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari nafkah demi keluarga. Kompilasi berbagai faktor ini yang menyebabkan eksploitasi anak di industri menjadi tidak terbendung. “Mereka jadi harus membuat pilihan untuk sekolah atau bekerja. Seharusnya kan nggak begitu. Mereka masih anak, hal yang perlu dilakukan seharusnya adalah mendukung mereka melalui hal-hal yang lebih produktif, seperti memberikan beasiswa atau stipen,” jelasnya.
Fokus yang bisa dilakukan sebenarnya adalah pada perubahan struktural, anak-anak tidak boleh dilihat sebagai objek atau nilai ekonomis. Selain itu, bisa juga dengan meriset serta memilih produk-produk kecantikan yang sesuai dengan nilai-nilai baik dan etis, yang dalam hal ini adalah brand-brand yang juga memperhatikan hak-hak pekerjanya. Meski begitu, Faye sendiri tidak memungkiri, bahwa biasanya produk-produk yang sustainable dan ethical memang cenderung lebih mahal. Tidak semua orang privileged enough untuk bisa membeli atau menerapkan konsep besar tersebut. “Memang sebisa mungkin harus bijak memilih, tetapi kita juga nggak bisa menyalahkan orang lain yang tidak membeli produk-produk sustainable. Pembicaraan sustainable dan ethical itu masih sangat elitis.”
Baca juga: 4 Alasan Produk Eco-Friendly Punya Harga Lebih Mahal
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Rumah Faye dalam usaha perlindungan anak adalah, periode transisi setelah anak keluar dari rumah aman. Meski bisa memberikan bantuan konseling atau pendidikan yang dibutuhkan, Rumah Aman tidak bisa membantu anak untuk mencari atau mendapatkan pekerjaan. “Sulit bagi mereka untuk kembali ke dunia nyata. Akhirnya anak-anak kembali rentan menjadi korban dan malah ada juga yang menjadi pelaku,” aku Faye. Maka dari itu, Faye berencana untuk membuka sekolah di Bali, yang dikhususkan untuk para penyintas, terlebih mereka yang memasuki periode transisi tersebut. “Harapannya mereka bisa sekolah dulu dan mendapatkan pekerjaan. Mungkin gambarannya akan seperti sekolah kejuruan atau pariwisata. Aku juga berharap bisa mendirikan rumah aman khusus untuk laki-laki,” tutup Faye.
Kira-kira, seperti itu perbicangan saya dengan Faye kemarin. Kekaguman saya ternyata memang nggak salah, Faye memang sangat energik dan inspiratif. Salah satu pesannya yang menutup obrolan kami yang masih saya ingat adalah,
“Belajar saja terus, kita nggak harus membuat organisasi, platform, atau suatu gerakan baru. Dari pelajaran kita, nanti kita akan tahu, apa sih peran kita untuk membantu orang lain,”
Untuk kamu yang mau tahu lebih lanjut soal isu-isu kekerasan yang terjadi pada anak seperti apa, dan ingin memberikan bantuan serta pengaruh kamu, kamu bisa cari tahu di www.rumahfaye.or.id. Kamu juga bisa memberikan donasi yang 100% akan digunakan untuk anak-anak dan program-program di Rumah Aman. Yuk, sama-sama mulai mengedukasi diri tentang hak-hak yang seharusnya anak dapatkan, untuk lebih peduli juga terhadap kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi di sekitar kita.
Faye sebenarnya tidak berbeda dengan anak-anak lain. Ia hanya sedikit lebih peduli.
Image: dok. Rumah Faye, Faye Simanjuntak, equaltimes.org