banner-detik

lifestyle

Awas, Salah Kaprah dalam Memaknai Body Positivity!

seo-img-article

“Individuals with positive body image neither judge nor ignore their bodies. Instead, they engage in self-care that involves adaptive appearance investment” – CookCottone (2015)

Istilah “body positivity” sudah bertebaran diberbagai media. Bahkan sudah mencapai 6,9 juta post bertagar #bodypositivity di Instagram. Bahkan, istilah ini kini telah berkembang menjadi sebuah gerakan sosial. Namun, sebagian orang mungkin salah paham terhadap gerakan ini.

Apa Itu Body Positivity?

Rupanya, body positivity movement sudah ada sejak tahun 1960-an. Pada awalnya, gerakan ini diinisiasi untuk melawan diskriminasi terhadap orang-orang yang bertubuh gemuk di New York. Serta akibat adanya ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh (body dissatisfaction), khususnya diantara perempuan.

Seiring berjalannya waktu, maknanya berkembang menjadi gerakan yang melawan standar kecantikan yang membuat perempuan merasa nggak nyaman dengan bentuk tubuhnya sendiri. Body positivity hendak mengubah makna kecantikan di tengah masyarakat dengan mempromosikan penerimaan dan penghargaan atas semua bentuk dan ukuran tubuh (Rees, 2019).

SELF-LOVE 2

Baca juga: Ini Alasan Self-Acceptance Sulit Diterapkan di Dunia Modern

Mengapa standar kecantikan ini harus dilawan? Sebab, pada dasarnya standar kecantikan populer yang diyakini masyarakat umum selama ini (misalnya cantik yang didefinisikan dengan kulit putih, tubuh langsing, hidung mancung dan rambut lurus) pada dasarnya adalah konstruksi sosial. Standar kecantikan ini sangat mengobjektifikasi perempuan secara seksual.

Dalam teori objektifikasi (Fredrickson & Roberts, 1997 dalam Cohen et. al, 2020), kondisi masyarakat yang selalu mengobjektifikasi tubuh perempuan secara seksual, bikin para perempuan cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai sebuah objek untuk dievaluasi oleh orang lain berdasarkan penampilannya. Banyak perempuan yang takut dianggap nggak menarik karena tampilan fisiknya nggak sesuai standar kecantikan. Konsekuensinya, banyak perempuan mengalami body shaming, appearance anxiety, eating disorder bahkan sexual dysfunction. Padahal, semestinya standar kecantikan ini sama sekali nggak menentukan self-worth seseorang.

Karenanya, body positivity movement ingin menantang standar kecantikan yang sudah lama mengakar di masyarakat, yang impact-nya diharap dapat membangun body image yang lebih positif dan meningkatkan rasa percaya diri di kalangan perempuan (dan tentunya laki-laki).

Kesalahan Memaknai Body Positivity

Cute peaceful woman hugging her shoulders

Jika dulunya standar body goals merujuk pada bentuk tubuh super skinny dan flat ala Victoria’s Secret Angels, kini Kardashian’s body yang curvy, toned dan eksotis jadi panutan banyak perempuan. Padahal, untuk mendapatkan bentuk badan “sempurna” tersebut, The Kardashians pun harus melewati proses bedah estetik.

Akhirnya, ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh akibat mengejar standar kecantikan yang nggak realistis, mendorong banyak orang jatuh ke jurang eating disorder. Nggak sedikit yang mengalami anorexia dan bulimia akibat merasa nggak memiliki figur yang sesuai dengan standar kecantikan yang ada di media konvensional dan media sosial. Padahal, standar kecantikan selalu berubah-ubah dan sangat nggak realistis. Nggak mengherankan lagi kalau eating disorder jadi penyakit mental paling mematikan menurut studi.

Namun, body positivity movement yang awalnya bertujuan untuk mencegah eating disorder malah menjadi counterproductive karena kesalahan dalam memaknai “body positivity”.

Body Positivity BUKAN Menormalisasi Obesitas

Narcissist lady standing at mirror

Hakikatnya, body positivity memang soal menerima dan percaya diri dengan warna kulit, maupun ukuran dan bentuk tubuh bagaimanapun. Nah, disini body positivity menjadi bias dan akhirnya berubah jadi toxic positivity. Gerakan ini seringkali dimaknai hanya sebagai dorongan untuk mencintai tubuh no matter the size is, terlepas dari aspek kesehatan.

Alih-alih memberikan rasa percaya diri buat mereka yang bertubuh plus size, justru terjadi miskonsepsi seakan body positivity menormalisasi obesitas beserta gaya hidup nggak sehat yang menjadi pemicunya. Miskonsepsi ini tentu saja berbahaya, sebab menurut WHO, obesitas dan overweight termasuk dalam salah satu risiko global utama kematian di dunia. Obesitas dan overweight sangat berbahaya karena menjadi pemicu penyakit cardiovascular (penyakit jantung dan stroke), penyakit persendian, diabetes hingga kanker. 

Baca juga: Penjelasan Dokter Spesialis Gizi Tentang Diet DEBM yang Lagi Viral di TikTok

It’s Okay Not To Be Okay

We can’t always feel good and positive towards our body all the time. Jangan jadikan body positivity sebagai tameng untuk denial terhadap perasaan nggak nyaman yang kamu rasakan tentang dirimu. Your feelings are valid. Sometimes, kamu harus lebih mendengarkan diri sendiri. Misalnya saja, ketika kondisi fisik melemah, gampang diserang penyakit, mudah lelah dan mengantuk, atau sering pusing. 

Kondisi tersebut bisa jadi merupakan sinyal yang dikirim oleh tubuhmu. Mungkin kode agar kamu lebih memperhatikan asupan gizi harian dan nggak memaksakan diri menahan lapar seharian demi perut yang rata bebas gelambir. Atau sebaliknya, kode untuk menurunkan berat badan dan kadar kolesterol-mu. Sinyal yang dikirimkan oleh tubuhmu sendiri lebih penting untuk didengarkan dibanding omongan orang yang bilang kalau bentuk tubuhmu nggak sesuai standar kecantikan..

Pada akhirnya, hendaknya gerakan body positivity dimaknai secara utuh. Idealnya, body positivity nggak sebatas dimaknai soal aspek penampilan fisik semata, namun juga memperhatikan kesehatan.

 

Image: Dok. freepik.com

Slow Down

Please wait a moment to post another comment