ic-fd

2020 Sudah Saatnya Stop Body Shaming!

health wellness
author

annedean・03 Sep 2020

detail-thumb

body shaming

“Eh, kayaknya gendutan ya?” “Udah turun berapa kilo nih?”  “Kalau nggak mulus dan langsing, nggak usah lah pakai baju kayak gitu.”

Pernah dapat komentar kayak gini dari keluarga atau teman? Atau bahkan orang yang nggak dikenal sekali pun di media sosialmu? For the longest time, komentar dan pertanyaan soal penampilan fisik atau body shaming selalu saya terima sebagai bentuk conversation starter, terutama di acara-acara keluarga. Bukannya ditanya “Apa kabar?”, bentuk sapaan buat saya selalu “Makin gede ya badan kamu.” atau “Jerawatan lagi ya sekarang?”. Padahal tanpa dikasih komentar-komentar kayak gitu, saya juga sudah sadar banget sama body image saya. We all have a mirror at home. Tanpa dapat input negatif dari orang lain soal fisik, kita juga sudah sering point out apa saja yang ‘salah’ dari diri kita saat berdiri di depan cermin. We are our own harshest critics after all.

Sejak kemarin, di media sosial heboh tentang seorang influencer yang nulis panjang lebar di Twitter soal betapa terganggunya dia saat lagi nge-gym melihat ada perempuan yang pede pakai sports bra dan celana pendek, padahal penampilan fisiknya nggak ‘mulus’. She went into ranting in graphic details, sampai bilang kalau perempuan di gym itu ‘polusi visual’. Tentunya warga Twitter dan Instagram kemudian ramai menegur influencer ini kalau cuitannya nggak pantas. In her defense, dia sah-sah saja nulis kayak gitu di Twitter karena nggak mention orangnya langsung. Konsepnya: “bukan bullying karena nggak ada objek jelas”. Tapi sadar kah dengan dia nggak mention satu orang spesifik, efek dari perkataannya justru bisa kena ke skala yang lebih luas? Body image issues adalah hal yang lekat banget sama banyak orang.

Body shaming has been so normalized and internalized in our culture. We are unnecessarily so focused on physical appearance sampai kayak cerita saya di awal, banyak orang yang nggak tahu harus mulai pembicaraan dari mana selain dari komentarin fisik orang lain.

Here’s the thing, sebagai manusia, ya pasti lah kita pernah punya komentar negatif tentang penampilan fisik seseorang di pikiran kita. But that’s where it better stay; just in our head. Nggak semua hal yang kita pikirkan perlu diutarakan, bukan? Kalau bahasa Twitter, “It should’ve stayed in the drafts.” 

Yes, we do have freedom of speech, but we also have common sense and empathy within us. Nggak perlu kok selalu memuji orang, apa lagi kalau bohong. It is indeed could be seen as toxic positivity. Tapi sadar nggak sih kalau di sini pilihannya nggak cuma dua? Nggak cuma memuji atau mengejek. Pilihan ketiga ya simply nggak usah berkomentar tentang fisik orang lain. Basic human decency.

Saya pun percaya sama quote, “Nggak semua orang itu cakep dan harus merasa cakep. Merasa biasa-biasa saja juga nggak apa-apa kok”. Nggak semua orang punya goals tertentu tentang penampilan fisiknya. Nggak semua orang berkeinginan buat dianggap cantik.  And it’s okay to not want to feel beautiful. It’s okay to feel you’re just average-looking. It doesn’t make you less loveable, less competent in doing your job. It won’t make you less ANYTHING. Lagi pula beauty standards juga nggak jelas batasannya. They’re human made after all! 

2020 sudah jadi tahun yang berat tanpa perlu ditambah masalah seperti ini. Let’s just be a little kinder. It’s okay to just keep some things to ourselves when it comes to other people’s appearance. Nggak semua isi otak kita perlu jadi kata-kata yang diutarakan, ESPECIALLY when we know it could do more harm than good.

Again yes, we have freedom of speech. tapi kita nggak akan menyianyiakan our precious freedom of speech kok dengan nggak komentarin fisik orang lain. There are greater, better causes yang butuh input dari freedom of speech yang kita miliki.

For now, let’s just be a little kinder.

foto: dok. Freepik