Akhirnya, tiba juga saatnya untuk membahas kegeraman saya selama ini terhadap false advertising dan false claiming di industri kecantikan. Yuk, baca esai saya yang satu ini untuk lebih memahami dunia kecantikan lebih dalam lagi.
Namanya saja dunia kecantikan, bukan rahasia lagi kalau industri ini dasarnya adalah bisnis. Di mana industri kecantikan itu sekarang menjadi primadona, hingga di tahun kemarin Business Insider menyebutkan bahwa industri kecantikan ‘melambung’ tinggi menjadi industri yang bernilai $532.000.000. Wajar bila industri besar seperti Unilever, P&G, bahkan pemain lama seperti L’Oréal, Esteé Lauder, Natura, dan lain-lain berebut untuk mendapatkan beauty brand indie agar memperbesar demografis segmentasi pasarnya. Tapi, bukan berarti industri kecantikan ini bersinar tanpa ‘dosa’. Banyak sekali false advertising dan false claiming yang memancing komsumen untuk berusaha terus up to date, FOMO, dan kemudian menjadi konsumtif.
Bagi yang belum tahu, well, saya pernah 3,5 tahun bekerja berurusan dengan pembuatan label produk kecantikan yang mengacu dengan peraturan BPOM dan BPOM sendiri memiliki peraturan untuk perusahaan-perusahaan patuhi dari sisi labelling, advertising, selling, dll. Sehingga bisa dibilang saya cukup hafal dengan peraturan apa saja sih yang harusnya dipatuhi. Kamu bisa cek PERKA BPOM di sini. Di Amerika sendiri, lebih dari 82% produk kecantikan memiliki false advertising yang tidak sesuai dengan aturan FDA, apalagi di Indonesia. Salah salah satu contoh false advertising yang menurut saya paling ‘edan’ di Indonesia adalah menggunakan ilustrasi produk yang tidak semestinya dan overclaiming. Brand paling bikin urut dada? Minuman kolagen dengan manfaat bombastis sampai mengencangkan payudara!
Tahu dong dr. Richard di Youtube?
Awalnya saya cukup geram dengan sebuah brand minuman kolagen yang menggunakan iodine-starch test sebagai analogi kulit dan polusi. Dengan menggunakan model orang Jepang (dengan harapan terlihat lebih cerdas dan terpercaya), sebuah mi instan dimasukkan ke dalam cairan betadine lalu mi instan berubah menjadi biru kehitaman. Hal ini melambangkan bagaimana kulit kita terdampak saat terkena polusi. Kemudian mi instan dimasukkan ke dalam cairan minuman kolagen tersebut dan tadaaaaa… jadi seperti semula.
MAAF! Bukannya kita semua pernah melakukan pengujian ini di kelas biologi waktu SMP? Pertanyaan selanjutnya, memang polusi yang kita jumpai sehari-hari itu dalam bentuk iodine dan bikin kulit kita jadi biru kehitaman? Lalu yang bikin mi instan itu kembali seperti semula itu adalah kolagen atau vitamin C? Silakan cari jawabannya di google atau tanyakan ke guru SMP kamu!
Menurut saya produk ini dari awal telah melakukan false advertising dengan menggunakan iodine-starch test apapun alasannya. Selain tidak tepat, cara ini sudah membodohi masyarakat dengan overclaim juga. Usut punya usut, ternyata minuman ini juga menerima reseller. Rata-rata, apa yang dikejar reseller kalau bukan keuntungan? Muncul overclaim di mana-mana seperti mengencangkan payudara dan bokong, menghilangkan jerawat, mempercepat penyembuhan luka, dll. Apa lagi brand-nya sendiri menampilkan testimonial yang overclaim. Itu artinya tetap false advertising, sayang. BPOM MANA SUARANYA BPOM? Saya jadi penasaran kenapa dulu saat saya bekerja ada klaim ‘mengurangi rasa tidak nyaman karena iritasi’ langsung ditindak tegas karena ini kosmetik bukan obat. Bukankah ini kasus serupa?
Apakah minuman tersebut jelek? Saya tidak tahu, saya tidak tertarik mencoba, dan tidak tertarik mengeluarkan uang untuk mencobanya. Saya hanya berharap tidak ada orang yang mudah terjebak dengan false advertising lagi ke depannya dan brand-brand mulai berbenah diri untuk tidak terus-terusan membodohi masyarakat dengan overclaim yang menjerumuskan.
Saya ingat betul di tahun 2017 adalah tahun kejayaan seorang YouTuber. Dia adalah seorang mantan karyawan industri kecantikan raksasa yang self-proclaimed as skincare expert. Pas dilihat di Linkedin-nya sih… divisi kerjanya marketing bukan R&D atau bagian lain yang berurusan dengan deep beauty knowledge. Dilihat lulusannya juga… rumpun ilmu yang dia pelajari justru lebih ke desain eksterior-interior, bukan farmasi, kimia, apalagi teknik kimia-kosmetika. Lalu tiba-tiba dia-lah yang menyebutkan fungal acne. WOW APA ITU FUNGAL ACNE? Dari situlah muncul banyak pembicaraan mengenai fungal acne. Well, bahkan dermatologis aka dokter kulit yang bertahun-tahun mempelajari kulit saja tidak pernah mendengar apa itu fungal acne. Kok satu manusia ini bisa-bisanya menyebut fungal acne? Dasarnya dari mana?
Begini, coba deh ketika seseorang menyebutkan ‘tiny little bumps on your forehead‘ dan langsung menyebutkan itu fungal acne tanpa pemeriksaan lebih lanjut, itu namanya kamu false claiming. Seorang dokter butuh waktu untuk mendiagnosa sebelum menyebut butiran kecil-kecil di dahi kamu itu malassezia (bukan fungal acne!). Terlebih saat akhirnya dia meluncurkan brand-nya sendiri, saya makin merasa kalau selama ini dia adalah marketing expert, bukan skincare expert. Sorry not sorry. Meskipun di website-nya kini dia telah ‘memperbaiki’ maksud dari fungal acne, saya tetap tidak bisa melupakan caranya membombastiskan fungal acne dan tetap menggunakan kata “fungal acne” itu sendiri. Sangat disayangkan karena beberapa produknya bisa dibilang cukup baik performanya.
Well, both of them are not my cup of tea and I prefer to not support them. And for you guys, please be wise. Jangan mudah tergoda hanya dengan klaim-klaim yang berlebihan, terutama pada influencer yang kurang baik kredibilitasnya. Semoga kita semua terhindar dari false advertising dan false claiming ya!