editors note
27 Apr 2020
The Bandwagon Effect: Kenapa Kita Selalu Ingin Ikut-ikutan yang Lagi Viral
Pernah nggak kamu bertanya, kenapa ya, kita cenderung tertarik untuk ikut-ikutan hal yang sedang viral?
Belakangan ini, timeline Instagram dipenuhi video Pass The Brush Challenge. Challenge ini adalah salah satu dari sekian banyak challenge yang viral di media sosial akhir-akhir ini. Sejak dipopulerkan oleh Tasya Farasya dan teman-teman influencer, #PassTheBrushChallenge sukses bikin banyak warganet tertarik untuk bergabung dalam tren ini. Bahkan, banyak pula yang memodifikasi Pass The Brush Challenge dengan barang-barang lainnya, misalnya sheet mask, handuk, atau sunglasses. Apakah kamu juga ikutan tren ini?
Selain Pass The Brush Challenge, banyak challenge lainnya yang juga viral. Diantara banyak challenge viral, saya paling tertarik sama Tussen Kunst En Quarantine Challenge. #TussenKunstEnQuarantine ini adalah challenge remake lukisan-lukisan zaman Renaissance dengan benda-benda yang ada di rumah. Challenge ini sangat menghibur dan bisa membantu melepas stress selama swa-karantina.
Challenges ini memang seru buat mengisi waktu selama swa-karantina, dan bikin kita tetap kreatif walaupun dirumah aja. Melihat para influencer melakukannya, rasanya jadi pengin ikutan join the hype, nggak sih?
Bandwagon Effect, Apa Sih Itu?
Nggak ada salahnya mengikuti tren, selama tren itu memberikan impact yang positif. Sayangnya, nggak semua yang viral sifatnya positif. Sebut saja Skull Breaker Challenge dan Mugshot Challenge. Sayangnya lagi, terkadang kita nggak cukup kritis untuk menilai apakah suatu tren yang kita ikuti itu positif atau enggak, karena kita cenderung ingin ikutan apa yang dilakukan banyak orang.
Baca juga: Apa yang Salah dari Postingan Viral #MugshotChallenge?
Dalam ilmu psikologi, sifat manusia yang cenderung suka ikut-ikutan tren ini disebut dengan Bandwagon Effect, yaitu kecenderungan dimana seseorang mengadopsi suatu perilaku, gaya, dan sikap tertentu hanya karena orang lain juga melakukan hal yang sama, terlepas dari kerpercayaan atau prinsip dan nilai-nilai yang dianut. Ya, sederhananya, hal ini yang biasa kita sebut juga sebagai latah sosial. Makin populer perilaku , gaya dan sikap tersebut, maka makin tinggi pula kecenderungan seseorang untuk ikutan join the hype. Especially when the trend is endorsed by those who influence or quite popular.
Dampak Bandwagon Effect dalam Kehidupan Sehari-hari
Bandwagon Effect ini sebenarnya bukan istilah baru. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 untuk menjelaskan fenomena “ikut-ikutan” yang terjadi dalam pemilihan politik di Amerika. Ternyata, Bandwagon Effect ini nggak cuma berlaku untuk fenomena politik, tapi juga fenomena lainnya seperti tren fashion, beauty, tourism, hingga berdampak ke perilaku bermedia-sosial.
Selain challenge-challenge yang viral di atas, banyak contoh lain dari Bandwagon Effect. Masih ingat, di tahun 2012, suksesnya film “5 cm” bikin banyak orang ingin ikut mendaki gunung. Saya masih ingat, saat itu banyak teman-teman saya yang awalnya nggak pernah kepikiran untuk mendaki gunung mendadak sangat antusias untuk jadi “anak gunung”. Fenomena ini tentunya nggak datang tanpa konsekuensi. Imbasnya, sampah di gunung pun ikut meningkat.
Atau, taman bunga Amaryliss, yang populer sebagai spot selfie semenjak viral di Instagram, rusak akibat diinjak-injak wisatawan yang jumlahnya membludak. Itu hanya sebagian kecil contoh dampak ikut-ikutan tren tanpa diiringi rasa tanggung jawab.
Gimana dalam dunia kecantikan? Beberapa tahun silam, popularitas aloe vera gel sempat meroket. Banyak banget yang antusias dengan soothing gel berbahan lidah buaya ini, sampai banyak brand ikut mengeluarkan produk yang serupa. Nggak jarang, ada olshop yang memasarkan aloe vera gel dengan klaim yang dilebih-lebihkan seolah-olah produk ini merupakan skincare ajaib. Atau tren menggunakan apple cide vinegar sebagai toner yang dulu sempat viral? Setelahnya, banyak olshop yang menjual salah satu bahan makanan ini sebagai skincare.
Tren-tren kecantikan ini diikuti banyak orang tanpa diiringi pikiran kritis tentang manfaat, risiko dan dampak dari kesalahan penggunaannnya. Bukan cuma satu atau dua orang yang breakout akibat aloe vera gel, dan iritasi akibat DIY toner cuka apel, kan?
Lihat juga: Ini Alasan Kenapa Pakai Aloe Vera Bikin Kulit Bruntusan!
Alasan Logis Mengapa Kita Ingin Ikut-Ikutan
Tapi kenapa kita suka ikut-ikutan sesuatu yang lagi viral, walaupun terkadang hal itu mungkin saja nggak bermanfaat, atau malah membahayakan diri kita dan orang lain? Ada beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kita untuk ikut-ikutan hal yang lagi viral.
Pertama, Groupthink. Ketika teman-teman dekat, sahabat, kelompok, atau komunitasmu ngikutin suatu tren tertentu, pastinya kamu bakal cenderung untuk mengikuti hal yang sama. Apa lagi, kalau nantinya bakal ada rasa “nggak enakan” diantara teman-teman kalau kamu nolak dan nggak ikutan ajakan kelompokmu.
Kedua, Fear Of Missing Out (FOMO). Di era socmed ini, rasanya kita ketinggalan banyak hal ketika sehari aja nggak buka Instagram. Sebenarnya ini adalah fenomena social anxiety yang disebut dengan FOMO. FOMO menyebabkan kita merasa “kurang gaul” atau nggak keren kalau belum ikutan apa yang lagi tren di media sosial. Akibatnya, kamu jadi terdorong latah ikutan challenge-challenge atau tren yang belum tentu jelas baik-buruknya, tanpa pikir panjang.
Ketiga, Personal Image. Setiap manusia, siapapun itu, akan selalu berusaha me-maintain image positif tentang dirinya. Tentu saja, siapa sih yang ingin punya image buruk di mata orang lain? Alasan ini juga yang mendasari kenapa kita ikut-ikutan suatu tren. Ketika kita mengikuti tren kecantikan, fashion, atau lifestyle, sebetulnya kita lagi berusaha untuk menciptakan suatu image tertentu, lho. Bisa jadi, kita ingin dianggap fashionable, jago make up, pinter masak, dan sebagainya.
Baca juga: Social Media Persona: Pilih Real atau Perfect?
Keempat, Bias. Bandwagon Effect ini sendiri sjatinya adalah bias kognitif. Bisa jadi, seseorang jadi latah buat ikutan tren tertentu karena bias yang menganggap bahwa apa yang dilakukan orang banyak, sudah pasti baik dan positif. Padahal pada kenyataannya belum tentu.
Bandwagon Effect nggak selamanya negatif, kok. Banyak hal positif yang dihasilkan dari Bandwagon Effect. Misalnya saja, jika digunakan untuk melaksanakan campaign-campaign positif. Seperti menyumbangkan rambut untuk yayasan kanker yang dulu pernah dilakukan Imani, atau donasi untuk kepedulian ditengah COVID-19 yang dilakukan para influencer, bakal efektif untuk menggerakkan banyak orang untuk ikut berdonasi. Atau campaign positif lainnya seperti gerakan sadar kesehatan mental dan #MeToo campaign yang ngasih empowerment pada korban-korban pelecehan seksual.
Finally, masing-masing kita harus bisa lebih kritis lagi dalam menilai tren mana yang layak diikuti dan mana yang sebaiknya dihindari. Jangan cuma bisa bermedia sosial ya. Kamu juga perlu untuk BIJAK bermedia sosial!
Foto: Dok. Instagram @antonova.lettering, @saharfardmehregan, Dok. CNN Indonesia