banner-detik

editors note

Saya adalah Korban COVID-19, dan Saya Mau Virus ini Berhenti di Saya!

seo-img-article

korban covid-19

Iya, saya positif COVID-19. Saya tidak malu membagikan cerita ini karena menurut saya dengan saya speak up, akan banyak orang yang lebih aware dan sadar bahwa COVID-19 itu bukan hal sepele. 

Saya masih ingat di akhir Januari, lebih tepatnya 23 Januari 2020. Saya melihat seluruh mata tertuju pada sebuah kota di Tiongkok. Namanya Wuhan, sebuah kota di tengah Tiongkok, yang tidak saya sangka akan menjadi perbincangan di dunia. Berawal dari sebuah pasar hewan di Wuhan, beberapa orang terkena penyakit yang dianggap berbahaya dan mirip dengan SARS. Banyak sekali hoax yang beredar mengenai penyakit ini, terutama dengan kerasnya diktatorisme di Tiongkok. Percayalah, saya bukan orang yang menganggap sepele penyakit ini dari awal. Saya percaya bahwa penyakit ini suatu saat akan sampai ke Indonesia. Cepat atau lambat.

Di awal Februari saya masih berani mengunjungi negara tetangga, Malaysia, untuk merayakan ulang tahun saya. Saat itu di Malaysia juga baru memiliki 17 kasus positif. Ah chill aja, aman kok, pikir saya. Namun, semuanya berubah setelah 2 minggu pulang ke Indonesia.

coronavirus-4834107_640

Saya diberikan sebuah status baru, yaitu suspect atau Orang Dalam Pantauan. Rumah sakit mencurigai saya membawa virus Sars-CoV-2 dari hasil rontgen thorax dan tes darah. Jujur, saya marah. Saya marah karena begitu mudahnya seorang dokter memberikan tuduhan kepada saya meskipun saya sendiri bisa melihat hasil throax saya cenderung bersih dan tidak ada masalah. Hasil darah juga menunjukkan saya terjadi infeksi akibat alergi, bukan bakteri maupun virus. Saya pun tidak kehabisan akal untuk meminta second opinion dari dokter spesialis paru, THT, bahkan teman-teman dokter yang saya tahu. Hasilnya sama, thorax saya terbilang bersih dan bebas dari virus. Saya pun memaksakan diri untuk ikut pemeriksaan agar saya bisa masuk ke kantor baru saya, Female Daily.

Sebulan berlalu, saya tentunya tidak mengurangi kewaspadaan saya terhadap penyakit COVID-19 ini. Saya justru semakin was-was dan larut dalam pikiran saya sendiri. Hourly hand washing is a new normal. Hand sanitizer is my new BFF. Saya bahkan punya 3 baju di rumah sendiri, 1 baju untuk keluar rumah, 1 baju untuk di dalam rumah, dan 1 baju untuk di dalam kamar. Suami saya pun saya berikan peraturan yang sama. Sebelum masuk kamar wajib cuci tangan, cuci wajah, dan pakai hand sanitizer. Bahkan saya sempat berantem dengan kedua orang tua saya karena mereka nggak mau cuci tangan pakai sabun (gross!)

Se-clean freak itu, tapi alam berkata lain. 

HAND SANITIZER - TERHINDAR DARI VIRUS

Suatu hari, ibu saya dihubungi oleh tante saya yang merupakan adiknya. Katanya suaminya memiliki bercak putih di seluruh paru dan mengarah ke COVID-19 tanpa gejala. DEG! Jantung saya rasanya berhenti. Seminggu sebelumnya, ayah dan ibu saya masih ngotot pergi ke rumah tante dan om saya untuk urusan bisnis. Iya, kedua orang tua saya masih nekat jalan-jalan ke rumah orang lain, ke tempat umum, ke restoran, bahkan ke mall. Sedangkan saya, di waktu itu sudah 3 minggu WFH, memilih untuk tetap di rumah dan hanya keluar untuk membeli kebutuhan sehari-hari di supermarket. Tante saya masih denial kalau suaminya positif COVID-19, dengan alasan ‘tidak ada gejala’. Padahal saya yakin, om saya pasti terkena COVID-19 karena beliau setipe dengan orang tua saya–masih kerja bertemu banyak orang, tidak pakai masker, ogah cuci tangan pakai sabun 20 detik, dan menyepelekan BCZ IT’S JUST LIKE FLUuUUUuUU.

Beruntung kantor suami saya memaksa kedua orang tua, suami, dan saya untuk melakukan tes mandiri. Alasannya sederhana: suami saya masih harus masuk kerja karena pekerjaannya sangat vital bagi perusahaan dan tidak memiliki urgensi untuk WFH. Itu artinya, suami saya memiliki risiko tertinggi menjadi carrier di kantornya. Saya sangat merasa beruntung dan berterima kasih untuk inisiatif ini, terlebih karena hasil ayah saya terbukti positif COVID-19.

First Stage of Grief: Denial 

corona virus di indonesia

Setelah surat hasil PCR di tangan, ibu saya masih menyangkal bahwa ayah saya positif. Katanya, “Ah paling gejala ringan aja” tanpa mengetahu arti yang diucapkan. Sekali virus itu ditemukan di tubuh, artinya virus itu telah ada. Kebetulan ayah saya hanya mengalami gejala sedang seperti demam, batuk kering, dan lemas, meskipun ayah saya memiliki penyakit pemberat seperti diabetes, jantung koroner, dan ginjal. Kamu mau tahu seperti apa isi otak saya pada saat itu? SAYA MAU TERIAK. I WAS RIGHT. AND I DON’T FEEL SAFE AT MY OWN HOME. 

Second Stage of Grief: Anger 

Saya dan suami pun bergegas mencari rumah sakit swasta yang dapat melakukan rapid test atau PCR test. Alasannya mudah, jika saya dan suami negatif, kami akan segera mencari kos-kosan untuk mengungsi sementara. Saya benar-benar marah kepada orang tua saya dan kecewa karena ucapan saya tidak didengar. Terbukti kan, ayah saya positif. Satu lagi yang bikin kesal, TIDAK ADA RUMAH SAKIT YANG BISA MENERIMA AYAH SAYA MESKIPUN SAYA SUDAH MENGINFOKAN BAHWA AYAH SAYA PUNYA PENYAKIT PEMBERAT. Kepala rasanya mau pecah, mau nangis pun rasanya gak mampu. Saya asal memilih rapid test yang kemudian saya sadar tingkat akurasinya hanya 30-40%.

Third Stage of Grief: Bargaining

Hasil rapid test saya dapatkan dalam waktu 2 jam. Iya, cepat. Tapi kamu gak tahu betapa sulitnya mendapatkan slot itu. Saya harus telepon dari jauh-jauh hari karena setiap rumah sakit dijatah. Hasilnya di luar dugaan, saya POSITIF. Darah saya menunjukkan reaktif terhadap Immunoglobulin G. Bagi yang tidak tahu, rapid test adalah tes antibodi. Di mana saat ada benda asing masuk dalam tubuh kita, baik itu virus, bakteri, dan lain sebagainya, tubuh akan merespon dengan kehadiran IgM. Kemudian setelah beberapa saat, tubuh mulai memproduksi IgG. Rapid test sendiri hanya bisa memunculkan reaktifitas IgM dan IgG di dalam darah tanpa memberitahu penyebabnya. Itulah yang membuat rapid test tidak terlalu akurat. Saya melampirkan tabel how rapid test works ya, semoga mudah dimengerti. Di posisi itu saya mulai berpikir, “semoga ini positif dari batuk aja, bukan COVID-19 ya Tuhan? Sudah bosen di kamar aja, pingin jalan-jalan ke luar ya Tuhan lihat matahari.” terutama karena saya tidak memiliki gejala apapun.

WhatsApp Image 2020-04-11 at 20.17.32

Fourth Stage of Grief: Depression

13 April 2020

4 hari setelah saya melakukan Polymerase Chain Reaction Test.

WhatsApp Image 2020-04-13 at 23.21.55 (1)

POSITIF. Terdapat organisme yang memiliki genom DNA sama dengan Sars CoV-2.

Gejala saya terbilang ringan bahkan hampir tidak ada, yaitu batuk, sinusitis, dan anosmia. Anosmia sendiri adalah kehilangan kemampuan mencium bau karena peradangan sinus. Saat itu yang saya rasakan cuma satu, saya ingin teriak. Saya ingin buka masker dua lapis itu dan teriak. Saya mengikuti semua nasihat WHO. Saya menjaga kebersihan. Saya cuci tangan tiap jam. Saya pakai hand santizer. Saya minum jamu. Saya minum vitamin. Saya berjemur. Dan saya POSITIF.

The final stage: Acceptance. 

Saya harus menerima kenyataan bahwa saya tertular ayah saya. Saya harus menerima bahwa saya memang punya asma, penyakit pemberat. Saya harus menerima bahwa saya memang harus rugi material. Saya harus menerima bahwa saya tidak bisa mengucapkan selamat ulang tahun pada hari ulang tahun suami saya yang akan berlangsung sebentar lagi. Saya harus menerima bahwa saya memang positif COVID-19.

TREN MENUNDA PERNIKAHAN KARENA CORONA 6

Bukan cuma saya yang mengalami kondisi ini, suami saya pun sedih. Dia yang selalu sigap merawat saya sampai kelelahan. Dia yang hanya minta satu hadiah di hari ulang tahunnya, yaitu dipeluk. Unfortunately, it is the only gift I cannot bear. I would give him anything in the whole world, anything but a hug. Mengapa tidak memungkinkan? Karena ibu dan suami saya negatif, mereka berada di lantai 1 sedangkan kami yang sakit diisolasi di lantai 2. Sangat tidak mungkin untuk memberikan sentuhan fisik bagi suami saya, dan di situlah saya sadar bahwa saya harus move on karena bukan cuma saya yang stres dengan keadaan ini. Everyone does. 

Dari cerita saya, saya ingin berbagi beberapa hal:

pasien coronavirus

1. Solusi termudah dan termurah untuk tidak menjadi korban COVID-19 adalah TETAP BERADA DI RUMAH. It doesn’t matter if you buy expensive hand sanitizer or N-95 Mask, selama kamu masih ke luar rumah–risikomu masih besar. Saya sangat berterima kasih pada Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Menteri Kesehatan yang telah menyetujui PSBB karena inilah solusi terbaik menghentikan penyebaran virus.

2. Edukasi. Edukasi. Edukasi. Jangan lupa untuk memberikan pengertian kepada anggota keluarga lain seperti ibu, ayah, anak, adik kakak, asisten rumah tangga, dll. Mereka juga berhak mendapatkan perlindungan yang sama seperti kamu. Berbagilah dengan mereka, karena kalian harus saling menjaga. Saya tahu cekcok pasti akan terjadi, tapi teguhlah pada pendirian bahwa yang kamu lakukan adalah baik.

3. Bagi kalian di luar sana yang positif COVID-19. Saya gak akan bilang, semangat ya tetap positif. I know how hard it is. Tapi saya cuma bisa ngeyakinin satu, kalau kamu mikirin terus sampai stres, tubuh kamu akan menghasilkan kortisol. Kortisol sendiri akan memicu peradangan sehingga kamu gak sembuh-sembuh. Sudah, ayo diterima saja. Jangan anggap penyakit ini aib. Kita bersama lawan virus ini, dan katakan: BIAR VIRUS INI BERHENTI DI SAYA. SAYA TIDAK MAU VIRUS INI MENYEBAR KE ORANG LAIN TERUTAMA MEREKA YANG SAYA SAYANGI. Dengan begitu, kamu juga bisa menghentikan stigma buruk dari virus ini, karena we need one less stupid, unwise person to survive.

ilustrasi-masker-corona

Meskipun saya pesimis dengan penanganan COVID-19 di Indonesia, saya yakin cepat atau lambat virus ini akan ditangani. Pasien yang sakit akan sembuh dan virus ini akan berhenti menyebar. Or maybe this will be the new normal? I don’t know. Tapi satu yang bisa saya tekankan adalah physical distancing adalah solusi terbaik untuk menghentikan penyebaran virus. Hindari meningkatkan risiko diri sendiri karena virus itu kasat mata, bung. Kamu nggak tahu virus itu ada di mana, dan apakah dia menempel pada dirimu and misfortune did happen. Sebagai pengingat saja, satu kali tes mandiri saya harus membayar Rp1.900.000,- dan keluarga saya saja melakukan 5 kali tes (ayah satu kali, ibu satu kali, suami satu kali, saya dua kali). You do the math.

Bayangkan kalau kamu ternyata adalah carrier virus, menularkan bapak-bapak dari uang kembalian yang kamu kasih. Mungkin bagi kita Rp1.900.000,- nggak ada artinya, tapi bagi orang lain, 2 juta itu bisa jadi uang makan keluarganya sebulan. Oleh karena itu, kebijaksanaanmu dibutuhkan saat ini.

Semoga cerita ini membantu, mungkin lain kali saya akan menjelaskan tentang bagaimana langkah tes atau lain sebagainya. Mungkin nanti, yang jelas saya butuh istirahat sekarang. Bye!

 

 

Slow Down

Please wait a moment to post another comment