banner-detik

makeup

Mengapa Kita Masih Sering Melakukan Makeup Shaming

seo-img-article

tren-makeup-skincare-2018-2

Kamu mungkin sudah akrab dengan istilah “body shaming” dan ikut-ikutan mengutuk tindakan body shaming yang dilakukan orang lain. Tapi jangan-jangan kamu malah melakukan hal serupa yang nggak kamu sadari? 

 

Pernah nggak kamu mendapat komentar dari orang lain seperti “Ih, makeup nya tebel banget, kamu lebih cantik kalau natural, deh!”

Atau “Kok pucat banget sih, makanya makeup-an dikit lah jadi cewek!”

Atau lebih parahnya seperti “Dih, udah tahu item, malah pake lipstick warna merah gonjreng, udah macam dendeng balado aja!”

Apa mungkin, justru kamu sendiri masih sering berujar komentar-komentar seperti di atas? Ya, mungkin kamu pernah jadi korban body shaming, sehingga kamu paham betul bagaimana buruknya ucapan yang bernada body shaming. Namun, sering kali, tanpa disadari, kamu kerap melontarkan ujaran yang kurang menyenangkan lainnya seperti contoh di atas. Bahkan, saya juga pernah baca tulisan Raissa tentang keluarga terdekatnya yang melakukan skin shamming.

makeup natural jadi stunning-Arum (2)

Jika benar begitu, artinya kamu telah melanggengkan budaya makeup shaming. Nah lho, apa lagi itu “makeup shaming?” 

Sederhananya sih, makeup shaming bisa diartikan sebagai komentar negatif atas pilihan dalam mengenakan makeup atau tidak sama sekali. Simpelnya lagi, makeup shaming terjadi saat seseorang merasa serba salah atas pilihan makeup-nya; kebanyakan makeup dibilang menor, nggak pakai makeup dianggap nggak cewek banget.

Siapa pun sebenarnya bisa saja mendapat perlakuan makeup shaming. Tetapi, mayoritas perempuan lah yang paling sering jadi korbannya. Apa lagi di Indonesia, lazimnya makeup dianggap sebagai sebatas milik perempuan dan masih jadi hal yang tabu bagi laki-laki. Sebaliknya, laki-laki justru jadi pihak yang sering melakukan makeup shaming pada perempuan.

Makeup Cakey atau Nggak Nempel? Ini Jawabannya-2

Saya pribadi nggak jarang mendengar ujaran berbau makeup shaming dari rekan-rekan lelaki saya. Dibilang “macam ondel-ondel” atau “kayak mau dangdutan” udah jadi makanan bagi para korban makeup shaming. Satu atau dua kali, komentar seperti itu masih bisa ditoleransi. Tapi lama-lama, komentar-komentar tersebut bikin kesal, malu dan berujung bikin kehilangan rasa percaya diri.

Apple to apple dengan body shaming, para pelaku makeup shaming juga berdalih bahwa komentar-komentar negatif tersebut punya maksud baik secara intrinsik. Padahal mereka bahkan enggak sadar konsekuensi dari perbuatan tersebut.

Lalu kenapa sih, masih banyak orang yang melakukan makeup shaming?

 

We used to judge people by their look

Walaupun kita sudah diperkenalkan dengan pepatah “don’t judge a book by it’s cover” sedari kecil, harus diakui bahwa memang sulit untuk nggak nge-judge orang lain dari penampilannya. People do judge a book by its cover!

Nggak bisa ditampik, first impression adalah salah satu kunci penting dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Apa lagi buat beberapa profesi yang tuntutan pekerjaannya mengharuskan untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang banyak. Ironisnya, justru mereka ini lah yang kerap mendapat perlakuan makeup shaming.

Saya pernah overheard percakapan orang lain di suatu pusat perbelanjaan, yang dibelakang men-judge seorang beauty advisor produk makeup karena riasannya yang dinilai nggak mewakili profesinya sebagai BA. Duh, tega banget, nggak sih?

aurel hermansyah

Foto: Instagram @aurelie.hermansyah

Masih ingat juga ketika Aurel Hermansyah menghebohkan jagat maya karena transformasi penampilannya? Mayoritas netizen mengkritik gaya makeup Aurel yang dinilai terlalu dewasa untuk anak seusianya. Bahkan ada yang tega mengatakan “Makeup-nya kayak tante-tante.”

See? Makeup shaming nggak cuma datang dari orang-orang sekitar, bahkan bisa datang dari orang yang nggak dikenal sekalipun!

 

Unwritten beauty standard

Tanggapan Beauty Influencer Mengenai Body Shaming #YourBeuatyRules-2

Katanya cantik itu relatif. Tapi sadar nggak sih, selama ini mayoritas dari kita, let’s say Indonesian, punya pemikiran yang nyaris sama tentang definisi ‘cantik’. Bagi mayoritas orang, cantik berkaitan dengan karakteristik fisik seperti hidung mancung dan kulit putih bagi sebagian besar orang Indonesia. Atau double eye lid atau lipatan mata bagi sebagian besar orang Korea. Benar relatif, relatif dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya. 

Definisi “cantik” yang nggak tertulis ini sudah kita amini dengan serius sejak kecil. Nyaris di setiap konten media menginjeksikan makna ‘cantik’ yang seragam. Termasuk tentang bagaimana makeup diaplikasikan. Nyaris di setiap tayangan media, disuguhkan potret perempuan yang digambarkan sebagai cantik dengan makeup yang effortless, sehingga kita meyakini suatu patokan tersendiri terhadap konsep makeup yang wajar. Jarang banget media menampilkan makeup sebagai suatu bentuk ekspresi diri yang sangat beragam dan sangat personal.

Baca juga: Influencer Curhat Soal Standard Beauty #YourBeautyRules

 

Internalized misogyny

Misogyny dapat diartikan sebagai tindakan atau sikap yang membenci perempuan. Internalized misogyny adalah bentuk dari internalized sexism, yakni sikap atau tindakan yang mendiskriminasi atau berprasangka berdasarkan sex dan gender orang lain, yang berlangsung pada level individual sehari-hari. Jadi, internalized misogyny ini sendiri adalah bentuk sikap yang mengkerdilkan nilai dari perempuan, yang dilakukan oleh perempuan sendiri. 

Jujur deh, mungkin sesekali kita pernah merasa ragu atau nggak percaya pada rekan perempuan lainnya, dan lebih yakin jika rekan laki-laki yang meng-handle suatu pekerjaan tertentu. Atau dilain hal, kita cenderung enggan untuk menyamakan diri kita dengan “perempuan lainnya” atau “perempuan kebanyakan” karena meyakini bahwa “perempuan pada umumnya” bersifat lebih inferior. 

Nah, itu semua adalah bentuk internalized misogyny yang nggak kita sadari. Internalized misogyny mendorong diri kita untuk berkompetisi dengan orang lain yang kita labeli sebagai “other women”.

YourBeautyRules

Ketika seseorang merasa “at least saya lebih baik dari cewek-cewek lainnya yang cuma bisa dandan”, atau “cewek lain sih, harus bela-belain pakai full makeup, sementara saya sih natural aja udah cukup, lagi pula cowok-cowok lebih suka cewek yang makeupnya natural, kok!” artinya, internalized misogyny telah mendorong perempuan untuk melakukan makeup shaming terhadap perempuan lainnya, and that’s a big NO NO.

Nah, setelah melakukan refleksi, jujur deh, apakah kamu termasuk orang yang masih melakukan makeup shaming terhadap orang lain? Jika ya, artinya kamu udah harus meninggalkan kebiasaan jelek ini mulai sekarang. Ada dua hal penting yang harus kamu sadari. Pertama, makeup adalah bentuk self expression dan personal choice dari setiap orang. Maka, setiap orang bebas berekspresi dengan makeup-nya sesuai dengan preferensinya pula tanpa tekanan apapun. Kedua, your makeup doesnt hurt anybody, so do theirs. Memakai atau tidak memakai makeup bagi orang lain, tentunya nggak akan ada ruginya di kamu dong. So, kenapa harus repot mengomentari makeup orang lain?

 

Lalu, apabila kamu adalah salah satu yang sering jadi korban makeup shaming, ada dua hal juga nih, yang perlu kamu tahu. Pertama, nobody can tell you you’re not beautiful, with or without makeup. Kedua, apabila mereka sering mengejek makeup mu yang belum sempurna karena alis yang tebal sebelah, atau pilihan shade foundation dan lipstick yang nggak pas, tenang aja: you’ll figure it out someday. Keep practicing, and someday makeup will be the part of yourself.

 

 

Slow Down

Please wait a moment to post another comment