Puasa 18 jam setiap hari bikin lemas nggak sih? Berat badan turun nggak? Here’s what I learned from trying intermittent fasting!
Lifestyle lebih sehat, turun berat badan, dan rajin olahraga adalah beberapa resolusi tahun baru yang paling umum. It’s like taking ‘new year new me’ to a literal level. Tapi nggak bisa dipungkiri, resolusi ini juga yang paling gampang gagal. Penyebabnya bisa dari lingkungan sekitar yang kurang mendukung (Ehem, masih jam 11 sudah ngajak jajan boba?) atau juga dari dalam diri sendiri, seperti malas olahraga atau nggak punya self-control untuk menolak ajakan jajan boba tadi.
Sebenarnya tahun ini saya nggak punya niatan untuk menjadikan turun berat badan sebagai resolusi tahun baru, tapi karena sempat business trip ke Jogja yang berujung wisata kuliner dan bikin overeating, badan saya rasanya sudah nggak nyaman banget. There’s no other way out for me than to lose some kilos. Sejak tahun lalu, saya memang rutin olahraga lima hari dalam seminggu, tapi kalau urusannya sudah overeating, jalan keluarnya adalah memperbaiki diet.
Banyak banget cara-cara diet yang beberapa tahun belakangan ini populer. Awalnya saya sempat mencoba ‘IU Diet’. Diet ini dipopulerkan oleh seleb Korea, IU, yang hanya makan satu apel, satu ubi, dan segelas protein shake dalam sehari. Tapi diet seperti ini tentunya nggak sustainable dan efeknya akan yo-yo. Setelah seminggu hanya makan satu ubi dan malah konstipasi, akhirnya saya stop.
Hari berikutnya, I went on a Yulia Baltschun video binge dan jadi tertarik untuk coba intermittent fasting (IF). Ini bukan pertama kalinya saya tahu tentang IF, tapi nggak tahu kenapa Yulia Baltschun berhasil meyakinkan saya untuk mencoba. Ditambah beauty vlogger Sarah Ayu yang juga sukses menjalankannya, saya jadi makin semangat!
Jadi seperti apa sih intermittent fasting yang saya lakukan? Dalam pola makan ini, saya berpuasa selama 16 jam dan makan selama 8 jam setiap harinya. Biasanya saya makan pertama kali jam 11 siang dan terakhir jam 7 malam. Puasa yang dimaksud di sini adalah nggak mengonsumsi apa pun yang mengandung kalori. Jadi saya masih boleh minum air, teh tawar, dan americano saat berpuasa. Dilansir dari The New York Times, Courtney M. Peterson, dari Department of Nutrition Sciences at the University of Alabama at Birmingham melakukan penelitian dan menemukan bahwa diet berbasis puasa selama 12 jam bisa memperbaiki hormon ghrelin (hormon lapar) dan meningkatkan pembakaran lemak.
Sebenarnya inti dari diet ini adalah tricking ourselves into eating less calories than usual alias defisit kalori. Kalau yang self-control-nya tinggi atau nggak masalah dengan menghitung kalori setiap makan, sebenarnya nggak perlu sampai puasa. Tapi bagi saya puasa ini rasanya justru lebih memudahkan. Selain mengubah jam makan, selama melakukan intermittent fasting saya juga membuat beberapa ‘pantangan’ untuk diri sendiri, seperti nggak makan nasi, nggak minum boba, dan sebisa mungkin menghindari dairy (karena saya memang lactose intolerant). Setiap weekday, saya hanya makan gado-gado dan satu ubi kecil untuk lunch. Sore hari saya minum strawberry smoothie sebagai pre-workout meal.
Setelah hampir dua bulan puasa dibarengi olahraga rutin lima hari seminggu, berat badan saya sih nggak turun terlalu banyak, hanya 3 kg saja. Tapi tubuh terasa ringan dan lebih toned. Through this diet, I also learned a few things, especially about myself. Apa saja?
Jadi saya sadar banget akan impulsive tendencies yang saya miliki. Bisa dibilang lifestyle saya sebelumnya tuh YOLO banget. Apalagi kalau urusan makanan. Minum boba tiap hari? Been there done that. Makan sudah kayak hobi buat saya, tapi seringnya habis makan saya merasa menyesal banget. Nah, akibat berat badan naik drastis dan intermittent fasting, saya jadi lebih bisa menahan diri dari makan makanan yang nggak sehat. Ternyata saya bisa kok nggak minum boba sebulan kalau memang diniatin. I still don’t eat 100% clean food, tapi jenis makanan dan minuman yang saya konsumsi jauh lebih baik.
Saat melakukan diet apa pun, pertanyaan yang sering ditanyakan adalah “bikin lemas nggak sih?”. Understandable sih karena kita makan lebih sedikit dari biasanya dan hampir pasti blood sugar juga turun. Tapi sejauh ini saya nggak pernah merasa lemas, lightheaded, atau susah konsentrasi. Jujur saya juga nggak merasa kelaparan yang berlebihan. Salah satu trik untuk bikin menahan lapar di pagi hari lebih mudah adalah dengan olahraga. Satu jam olahraga ringan seperti gentle yoga atau TRX bisa jadi pilihan. But if cardio is more your cup of tea, then that’s okay too.
Seperti saya sudah cerita sebelumnya, inti masalah saya adalah overeating cause I just love food so much. Tapi setelah melakukan intermittent fasting selama 1,5 bulan, saya justru nggak bisa makan banyak-banyak. My body just don’t allow it! Saya senang banget sih dengan efek ini, karena badan terasa ringan dan jadi lebih berenergi.
Nah, saat diet sudah menuju berhasil, muncul masalah baru lagi yang justru bisa bikin gagal: cepat puas. Apalagi kalau menjalankan diet yo-yo yang bisa menurunkan berat badan dalam waktu singkat. Saya sih optimis intermittent fasting ini bisa saya lakukan terus karena memang nggak membebani aktivitas saya sehari-hari dan nggak sejauh ini nggak mengganggu pencernaan saya secara general (nggak konstipasi, nggak maag).
Kalau masih kurang repetitif juga, saya mau bilang sekali kalau saya suka banget makan LOL. Dan tentunya saya nggak mau menjadikan makanan sebagai musuh. I don’t want to feel like I have sinned after eating anymore. Saya memang membuat ‘pantangan’ yang sifatnya personal, tapi menurut saya masih dalam batas wajar dan justru memperbaiki calorie and sugar intake.
Perlu diingat, saya sama sekali bukan expert dalam diet and nutrition. This diet just works for me. Kalau kamu memang punya masalah kesehatan seperti GERT atau yang lainnya, tentu penting banget untuk konsultasi dengan dokter gizi dulu sebelum melakukan diet apa pun.
Pernah coba intermittent fasting juga? Share pengalaman kamu yuk di komen!