banner-detik

eco friendly

Berapa Harga Yang Harus Dibayar Untuk Mengikuti Fashion Kekinian?

seo-img-article

Apakah masing-masing diri kita berperan dalam memperparah climate change? Jawabannya, IYA. Sadarkah kita perilaku apa saja yang menyumbang kerusakan lingkungan? Salah satunya berhubungan dengan konsumsi kita akan produk fashion, lho. 

 

Hah, gimana, gimana? Apa hubungannya fashion sama climate change?

 

Buat yang masih bingung dengan korelasi antara keduanya, lebih baik mengevaluasi seberapa tinggi tingkat awareness kita terhadap isu ini. Faktanya, ada harga yang harus dibayarkan pada lingkungan buat mengikuti tren mode yang silih berganti. Harga yang nggak bisa diajak kompromi: kelestarian lingkungan. Dan sebagai penikmat mode, kita wajib tahu konsekuensi yang disebabkan oleh industri fashion pada lingkungan. 

Sebelumnya saya pernah menulis tentang bagaimana sebagai individu, perempuan punya tanggung jawab lingkungan, terutama berkaitan dengan proses menstruasi yang kita jalani tiap bulannya. Namun tentunya kontribusi kita terhadap krisis lingkungan bukan hanya sampai disana. Memulai dengan lebih bijak memilih produk kecantikan yang paling dibutuhkan memang sebuah awal yang baik juga, tapi ternyata masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga lingkungan ini.

polusi

Global Warming is Real

Kayaknya saya masih belum move on dari topik lingkungan. It’s not a joke! Pemanasan global nggak hanya memaksa kita untuk selalu mengenakan broad spectrum SPF dan me-reapply dua jam sekali. Lebih dari itu, climate change juga menyangkut keberlangsungan hidup generasi selanjutnya. Hal ini mendorong tumbuhnya awareness yang dibuktikan dengan gerakan Global Climate Strike, dimana beberapa waktu lalu para pengunjuk rasa di seluruh dunia turun ke jalan menuntut tindakan segera dari aktor-aktor yang bertanggungjawab dalam pengentasan climate change

Aktor-aktor yang dimaksud bisa saja adalah bagian dari industri mode yang nyatanya memang meninggalkan jejak lingkungan dari kegiatan produksinya. Industri ini harus senantiasa up to date dengan perkembangan mode dan minat pasar, sebab dunia fashion sangat dinamis. Makanya, lahirlah skema bisnis fast fashion.

Baca juga: Fast Beauty Berdampak Buruk untuk Lingkungan?
Fast FAshion

Apa Itu Fast Fashion?

Fast fashion diartikan sebagai respons cepat para retailer fashion yang membawa tren-tren dari catwalk langsung ke tengah pasar melalui proses produksi yang cepat, massal, dan harga jual murah. Tren fast fashion mengundang antusiasme dari pasar dan mendorong pembelian impulsif. Beberapa brand favorit kita seperti Zara, H&M, Uniqlo, Pull & Bear, dan lainnya adalah contoh dari retailer fast fashion dunia yang paling ternama.

Skema ini sukses menciptakan profit bagi retailer, tapi dinilai nggak ramah lingkungan. Bayangkan, industri ini selalu memproduksi barang-barang baru mengikuti siklus tren fashion yang cepat, padahal industri fashion adalah penyumbang polusi terbesar kedua di dunia setelah industri perminyakan.

Menurut UN Environtment, industri mode berkontribusi terhadap 20% limbah air dan 10% emisi karbon global. Pencemaran air berasal dari limbah pewarnaan tekstil dan microfiber. Industri mode juga menghasilkan gas rumah kaca selama proses produksi, pembuatan, dan transportasi jutaan pakaian setiap tahunnya. McKinsey mencatat sebanyak 23 kg gas rumah kaca dihasilkan untuk membuat 1 kg kain. 

Pakaian fast fashion pun punya umur yang cenderung pendek. Kebanyakan umurnya nggak lebih dari tiga tahun. Kalau nggak karena rusak, pasti sudah ketinggalan mode. Semua pakaian yang diproduksi juga nggak serta-merta habis terjual di toko. Lalu kemana perginya pakaian-pakaian tersebut? Tiga perlima-nya berakhir di tempat pembuangan dan pembakaran sampah. Sementara nggak sampai setengahnya didaur ulang atau disumbangkan. Menghasilkan limbah tekstil yang makin menggunung.

Para aktor industri fast fashion memang sudah berupaya untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkannya. Dalam sustainablility report-nya, beberapa brand berusaha meyakinkan publik kalau mereka sudah menjalankan bisnis yang sedikit lebih sustainable melalui pengurangan emisi dan penggunaan serat daur ulang. Beberapa brand bahkan diberi penghargaan untuk program-program sustainability-nya.

Tapi apakah masalah lingkungan yang sudah dipupuk oleh industri fashion selama ini selesai begitu saja dengan usaha “mengurangi sedikit” dampak? Jawabannya, sudah pasti tidak. Tapi memang sudah ada usaha ke arah yang lebih baik dengan memikirkan bagaimana cara mereka untuk mengurangi dampak buruk yang mereka timbulkan untuk lingkungan. 

 

Greta Thurnberg

Aktivis lingkungan muda, Greta Thunberg dalam pidatonya pada UN Climate Action Summit, Senin 23 September lalu, dengan lantang menohok dengan kata-katanya:

 

“The popular idea of cutting our emissions in half in 10 years only gives us a 50% chance of staying below 1.5 degrees… Fifty percent may be acceptable to you. But those numbers do not include tipping points, most feedback loops, additional warming hidden by toxic air pollution or the aspects of equity and climate justice. They also rely on my generation sucking hundreds of billions of tons of your CO2 out of the air with technologies that barely exist. So a 50% risk is simply not acceptable to us — we who have to live with the consequences.”

Uniqlo

Ethical Consumption

Kita memang nggak bisa sepenuhnya bersandar pada komitmen industri untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkannya. Lagi-lagi industri masih harus memikirkan profit di atas segala-galanya. Namun sebagai konsumen, kita punya andil penting untuk mengendalikan fenomena alam yang disebabkan industri mode.

Salah satunya dengan menerapkan prinsip ethical consumption. Yakni mengenali kekuatan yang kita miliki sebagai konsumen dalam memengaruhi bisnis agar lebih sustainable, etis, dan bertanggung jawab. Prinsip ini menuntut kita untuk “think before shop”, mempertimbangkan bagaimana life style bisa memengaruhi nasib lingkungan dan banyak orang. 

Baca juga: “Made in Indonesia”, Gerakan Cinta Produk Fashion Indonesia

Banyak yang pesimis dengan ethical consumption, sebab pada dasarnya, sebagai konsumen, kita nggak selalu membeli berdasarkan pertimbangan yang rasional, sadar, dan dipikirkan matang-matang. Nyatanya, konsumen tuh kompleks banget. Konsumsi produk fashion sering kali nggak rasional, dan lebih sering didorong oleh “lapar mata” dan dorongan egoistik seperti gengsi.

Atau, kita bisa beralih pada berbagai brand conscious fashion yang menghasilkan produk fashion yang lebih long-term dan basic, sehingga nggak lekang oleh zaman dan mudah untuk di-mix and match. Kita juga bisa mulai mendonasikan baju bekas layak pakai ketimbang menumpuk di lemari atau dibuang ke tempat sampah. Atau lebih mencintai produk lokal, karena dari segi kualitas, produk lokal pun nggak kalah dari brand-brand besar dunia.   Menjadi lebih mindful dalam konsumsi fashion artinya nggak hanya membantu menyelamatkan lingkungan, tapi juga menyelamatkan isi dompet, as well

Yet style is very personal, saya pun nggak bermaksud untuk mengajak pemboikotan terhadap brand-brand fashion favoritmu (saya pun masih suka pakai beberapa produk fast fashion). Cuma ingin menantang sesama konsumen untuk lebih kritis dalam mempertimbangkan perilaku konsumsi kita. Nggak pernah ada tombol pause untuk tren fashion. Pertanyaannya: is it necessary and fine to follow all the trends?

1
1

Slow Down

Please wait a moment to post another comment