banner-detik

eco friendly

Tantangan Dalam Menerapkan Sustainable Menstruation di Indonesia

seo-img-article

Menstruasi dianggap “agenda rutin” yang sering kali kebiasaan-kebiasaan pada fase ini jadi sesuatu yang dianggap sepele, dan taken for granted. And here we are now, ternyata kesalahan dalam kebiasaan kita selama menstruasi itu bisa menjadi sebuah environmental catastrophe.

 

Selama ini, lingkungan sosial dan budaya berpengaruh pada terbentuknya pemahaman dan kebiasaan perempuan saat menstruasi: dangkal dan acuh tak acuh. Ini jadi pr yang cukup sulit bagi para aktivis perempuan untuk membangun kesadaran dan mengubah kebiasaan yang kurang tepat berkaitan dengan menstruasi. 

Bicara tentang menstruasi bukan sekadar tentang membangun kesadaran kita untuk memelihara kesehatan reproduksi dan menjaga kebersihan selama periode tersebut terjadi. Kalau dua hal itu berkaitan dengan kesehatan masing-masing individu, ada satu lagi masalah krusial terkait menstruasi yang menurut saya menjadi concern bersama dan wajib banget untuk disadari oleh semua perempuan, yakni: manajemen limbah pembalut bekas menstruasi.

Baca juga: Masalah Kulit Saat Menstruasi, Butuh Ganti Skincare?

 women get menstruation

Kenapa Menstruasi Harus Sustainable?

Mungkin kita mulai akrab dengan konsep “sustainable menstruation”, yang memang sedang gencar-gencarnya dipromosikan oleh para aktivis belakangan ini. Kampanye ini ramai disuarakan di India dan makin meluas ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Buat kalian yang belum familiar dengan apa itu sustainable menstruation, saya akan berusaha memamparkannya sebaik mungkin. Jadi, kampanye sustainable menstruation ini lahir dari kekhawatiran akan dampak bahan-bahan toxic yang terkandung pada produk disposable pads atau pembalut sekali pakai, serta masalah pencemaran lingkungan yang dibawanya. 

Soal hygiene dan keamanan menggunakan pembalut mulai dipertanyakan semenjak beberapa produk pembalut sekali pakai terindikasi mengandung toxic chemicals. Misalnya klorin untuk proses bleaching yang “berbonus” dioxin. Bukan cuma beracun, dioxin dapat menyebabkan kanker, kerusakan sistem kekebalan tubuh, dan dapat mengganggu hormon. Ironisnya lagi malah memicu masalah reproduksi! 

Dioxin pun dikenal sebagai Persistent Organic Pollutants (POPs) yang super persisten dan butuh waktu sangat lama untuk di-break down. Diperkirakan butuh 7 hingga 11 tahun agar radioaktivitas dioxin turun hingga (hanya) setengahnya. Once it penetrated to our body, it could stay in for a really long time. Cukup mengerikan bukan? 

Well, nggak berhenti sampai disitu, pembalut sekali pakai juga turut jadi penyumbang limbah yang mencemari lingkungan. Jika diperkirakan bahwa setidaknya setiap perempuan rata-rata menggunakan 5000 pembalut seumur hidupnya, lalu, kemana perginya? 

Sustainable menstruation

Credit: Water photo created by jcomp – www.freepik.com

 

It’s literally everywhere! Dari gundukan tempat pembuangan akhir, sampai mengapung di sungai dan bermuara ke lautan lepas. Lebih dari 45 miliar tampon atau pembalut digunakan setiap tahun di seluruh dunia yang menghasilkan 3,2 juta kg limbah

Sebanyak 8 juta metrik ton plastik memasuki lautan tiap tahun, dari total sekitar 150 juta metrik ton yang sudah membentuk “pulau plastik” saat ini. Kita sudah cukup dipusingkan oleh limbah plastik dari kantong kresek serta kemasan minuman dan makanan, lalu ditambah lagi dengan limbah pembalut sekali pakai. Which is made from non-biodegradable plastics. Belum lagi unsur plastik lain yang ada pada kemasan pembalut itu sendiri.

Bagaimana mungkin bisa bersikap tak peduli dengan limbah pembalut yang kita hasilkan setiap bulannya setelah mendengar berita viral tentang paus yang mati menelan puluhan kg sampah plastik dalam perutnya di Wakatobi dan Filipina?

 

Tantangan Yang Dihadapi Kampanye Ini

 sustainable menstruation 2

Source: Feminism in India

Kampanye sustainable menstruation hadir sebagai upaya agar perempuan nggak perlu merasa bersalah menjalani proses biologisnya ini. Kampanye ini mengajak para perempuan untuk mengganti kebiasaan penggunaan pembalut sekali pakai dengan alternatif lain seperti menstrual cup, cloth pads/pembalut dari kain, atau biodegradable pads. Alternatif ini, selain lebih aman untuk kesehatan dan ramah lingkungan, juga lebih ekonomis dibanding membeli pembalut sekali pakai.

 Baca juga: 8 Fakta Menstrual Cup Yang Nggak Boleh Terlewati

Sustainable Menstruation

Credit: Woman photo created by freepik – www.freepik.com

Namun ada banyak tantangan yang dihadapi:

Pertama, pasar di Indonesia masih di dominasi oleh pembalut sekali pakai. Minim banget pilihan lain yang bisa ditemukan dengan mudah di warung, mini market dan super market selain pembalut sekali pakai. Sekalipun menstrual cup atau alternatif lain sudah tersedia di tempat-tempat tertentu, sayangnya masyarakat belum aware dengan kehadirannya, sebab TV masih jadi sumber informasi produk yang utama bagi sebagian masyarakat Indonesia. Dan pembalut sekali pakai masih merajai iklan produk menstruasi di TV. 

Kedua, pembalut sekali pakai jadi lebih menarik karena dianggap lebih praktis dari pada menstrual cup atau pembalut kain. Memang perlu diakui kalau pemakaian menstrual cup dan pembalut kain lebih ribet karena perlu effort untuk mencuci, mengeringkan, dan memastikan produk tersebut tetap higienis. Di luar itu, memang harus diakui kalau harga dari pembalut jauh lebih affordable dibandingkan dengan beberapa alternatif lainnya yang bisa digunakan. Saya juga aware bahwa memang tidak semua kalangan bersedia atau bahkan mampu untuk mengeluarkan uang yang cukup besar untuk mengganti penggunaan pembalut dengan produk lainnya. Bahkan mungkin di daerah rural, para perempuan akan lebih memilih menggunakan uangnya untuk mengisi perut dibandingkan untuk membeli pembalut.

menstrual-cup-with-red-glitter-white-background-women-s-health-ecology-planet_74333-638

Ketiga, kurangnya edukasi tentang kesehatan organ reproduksi, baik di lembaga pendidikan formal, maupun informal seperti keluarga. Karena itu, masih banyak perempuan yang merasa clueless soal menstrual cup, termasuk bagaimana cara memasukkan menstrual cup ke dalam vagina.

Keempat, kembali pada apa yang saya bilang sebelumnya, bahwa lingkungan sosial budaya mempengaruhi pemahaman perempuan tentang menstruasi dan kebiasaan yang terbangun. Hingga kini, menstruasi masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Dianggap inappropriate, menjijikkan, and sometimes linked to superstitions. Pemahaman ini sering diturunkan dari generasi ke generasi, dan akhirnya memengaruhi cara perempuan dalam memperlakukan darah menstruasinya. 

Anggapan bahwa darah menstruasi adalah sesuatu yang kotor telah membangun kebiasaan di masyarakat untuk menyembunyikan darah dari bekas pembalut yang akan dibuang dengan cara memasukkan ke dalam kantong plastik gelap. Lagi-lagi, limbah plastik yang dihasilkan pun bertambah.

Yang bikin saya geram, masih banyak yang belum teredukasi untuk membuang pembalut dengan benar, lalu sembarangan membuang pembalut ke dalam kloset. Bukan cuma bikin kloset mampet, tapi pembalut akan mengalir sampai jauh ke sistem saluran pembuangan, lalu akhirnya bisa diitebak: mencemari lautan.

Sustainable menstruation

Credit: Calendar photo created by freepik – www.freepik.com

Siapa yang dirugikan dari kebiasaan menstruasi yang salah? Selain tentunya masing-masing individu, makhluk hidup lainnya juga ikut terkena imbas dari pencemaran limbah pembalut. Kita bahkan sering lupa akan nasib para kelompok marginal yang bekerja memungut sampah-sampah pembalut bekas yang dibuang di TPA, mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit akibat kontak dengan limbah dan terpaan gas beracun hasil pembakaran limbah pembalut. Yes, those sanitary wastes that come from us.

Sustainability sejatinya adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab segelintir industri melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR) *colek produsen pembalut*. Masalahnya, sudah kah kita menyadari tanggung jawab lingkungan yang otomatis kita emban selama ini?

 

 

Slow Down

Please wait a moment to post another comment