banner-detik

sponsored post

Dewi Kauw Cerita Soal Skincare & Psikologis

seo-img-article

Beberapa waktu lalu Ochell sempat bikin tulisan soal obrolannya dengan Dewi Kauw soal gimana perempuan yang satu ini mengawali bisnisnya di dunia kecantikan dengan menciptakan Skin Dewi. Sekarang saya kembali ketemu Dewi untuk cerita soal pembelajaran terbarunya yang berkaitan dengan kesehatan kulit.

Kalau nanya pendapat pribadi saya, Dewi Kauw ini adalah salah satu perempuan yang sangat menarik untuk diajak ngobrol. Kalau ketemu sama Dewi, rasanya saya bisa ngobrol berjam-jam soal apapun. Ilmunya nggak mentok cuma bahas pelembap apa yang bagus buat atasin kulit jerawatan. Tapi mulai dari skincare, hormon, dan gizi pun bisa jadi bahasan yang seru sama perempuan yang punya background pendidikan kimia ini. Sampai terakhir kemarin kita ngobrol panjang lebar soal hubungan antara psikologis orang dengan kondisi kulitnya.

Skin Dewi 1

Sebenarnya, faktor apa aja sih yang harus kita perhatikan buat cari tahu produk yang paling pas buat kondisi kulit?

Yang jelas kita harus tahu tipe kulit kita apa, concern-nya apa, habit dan pola hidup kita bagaimana. Menurut saya, perempuan sekarang udah makin pintar sih. Mereka udah cukup teredukasi dengan baik kalau ternyata banyak hal bisa memengaruhi kondisi kulit mereka, yang akhirnya bisa berpengaruh juga sama pemilian produk. Contoh gampangnya, kalau lagi jerawatan sudah mulai banyak perempuan yang ngerti kalau cara mengatasinya nggak cuma ditotol acne spot treatment aja, tapi perlu juga dihidrasi, dan diatur pola makannya. Nah, tapi ada 1 poin unik yang saya pelajari, bahwa psikologis kita juga memengaruhi kondisi kulit kita.

Apa yang menghubungkan antara psikologis dan kondisi kulit kita?

Memang sih Skin Dewi itu awalnya dibuat karena saya nggak bisa menemukan obat terbaik buat anak saya yang atopic dermatitis, sampai akhirnya saya racik sendiri. Tapi kejadian terakhir memang sempat bikin saya bingung banget. Jadi ceritanya pas saya liburan satu keluarga, anak saya minta makan segala macam yang seharusnya nggak boleh dia konsumsi, karena atopic dermatitis. Tapi karena kondisinya lagi liburan dan pingin senang-senang, akhirnya saya izinkan. Karena sebenarnya saya udah tahu juga gimana cara mengatasinya kalau tiba-tiba kambuh. Ternyata, setelah pulang dan baru mau masuk siklus sembuh, tiba-tiba atopic dermatitisnya muncul lagi dan ini berlangsung selama berbulan-bulan. Sampai akhirnya karena desperate saya kasih obat minum, tapi tetap tidak membantu.

Lalu, pada saat yang sama itu saya mengambil kursus Rapid Transformational Therapy dari seroang psikolog, Marissa Pier. Nah di sini lah saya belajar bahwa apa yang kita pikirkan itu ternyata memiliki peranan besar akan apa yang bisa terjadi pada tubuh kita. Akhirnya saya berpikir, jangan-jangan kondisi anak saya nggak membaik itu adalah problem psikologis. Dia merasa spesial kalau dia lagi sakit, sehingga attention semua orang tertuju pada dia. Jadi saat dia mulai kambuh lagi, saya tidak memberikan perhatian yang dia inginkan, yang saya lakukan hanya menenangkan dia bahwa itu nggak apa-apa dan akan membaik. Lalu saya juga meminta dia untuk selalu bilang “saya akan sembuh” setiap hari. Dan surprisingly kondisinya membaik tanpa menggunakan obat sama sekali. Makanan yang nggak boleh dia makan pun akhirnya saya bolehin, dengan selalu bilang “kamu udah sembuh, kok” sampai otaknya benar-benar percaya akan hal tersebut. Jadi, dari kejadian ini, saya yakin dengan memikirkan sesuatu dengan kuat, maka hal itu akan bisa terjadi. Termasuk memikirkan soal kondisi kulit kita.

Baca juga: Cerita Dewi Kauw Saat Membangun Skin Dewi

Skin Dewi

Jadi, kalau kita sudah berhasil merubah cara berpikir kita, bagaimana dengan peranan produk skincare yang digunakan?

Produk itu hanya manage the symptoms. Tapi kalau dari dalam diri kita tidak diperbaiki, maka menurut saya produk nggak akan membantu banyak. Maka dari itu banyak banget orang-orang yang punya masalah kulit menahun. Seperti misalnya jerawat. Karena dia sudah terbiasa dengan wajahnya yang berjerawat, jadi secara nggak sadar dia menjadikan hal tersebut sebuah identitas dia. Akan sulit diobati kalau dari dalam diri kita sendiri kita nggak yakin kalau itu akan sembuh.

Terus gimana dong caranya buat kita merubah mindset tersebut?

Langkah pertama sih menurut saya adalah kita harus bisa mengidentifikasi apa yang memicu kita untuk berpikir seperti itu. Kalau anak saya, akarnya adalah attention. Jadi daripada dia mendapatkan attention pas dia lagi sakit, maka attention itu akan saya berikan pas dia berprestasi. Setelah kita tau apa pemicunya, maka dengan mudah kita bisa mengubah pemikiran kita dan berjalan menuju tampilan kulit wajah yang lebih sehat.

Salah satu keunikan Skin Dewi ini adalah konsultasi personal yang bisa dilakukan untuk menidentifikasi akar masalah kulit kita. Nah, apakah hal itu masih berlangsung sampai sekarang?

Masih, kok. Tapi karena sekarang demand nya semakin tinggi, saya membuat facebook group Skin Dewi dan menuliskan semua FAQ di sana. Jadi teman-teman bisa baca semua pertanyaan umum yang sering banget ditanyain ke saya. Baru nanti kalau ada hal yang lebih spesifik lagi bisa diakomodir lebih lanjut.

skindewi

Di tahun 2019 ini ada apa yang baru dari Skin Dewi?

Fokus kita masih di 3 area yang sama sih, skincare, workshop dan juga raw ingredients. Rencananya di tahun ini sih kita pingin lebih banyak juga mengedukasi orang lewat workshop supaya banyak orang yang lebih fasih untuk setidaknya tahu produk apa yang baik atau tidak baik buat dirinya sendiri. Saya juga senang banget kalau setelah keluar dari workshop, mereka bisa menghasilkan produk-produk bermutu. Karena buat saya, ilmu itu harus dibagikan kepada banyak orang. Kalau dari sisi produk, Skin Dewi akan launching Oil Body Shower dan Cleansing Oil yang bahan dasarnya dari tamanu oil.

Slow Down

Please wait a moment to post another comment