Nggak mudah tapi harus dihadapi, ini cerita saya dan permasalahan mental health saya.
Pas diminta Kak Arinda untuk bikin artikel tentang mental health, sejujurnya saya agak anxious… Hahaha! Sebetulnya, Saat kecil saya didiagnosa ADHD sebelum usia sekolah dan mendapatkan early treatments, jadi ADHD saya tidak mengganggu aktivitas dan kehidupan sosial saya sampai usia remaja. Tapi saya sudah sangat familiar dengan konsep mental disorder sejak saya kecil.
‘Hubungan’ saya dengan mental health dimulai saat saya kuliah tahun kedua. Saat itu, saya dan Ibu saya harus pisah kota jadi saya harus tinggal sendirian di Jakarta, jadi saya kehilangan support system. Nggak cuma itu, saya sedang sibuk banget karena lagi enjoy jadi mahasiswa yang banyak banget berorganisasi dan melakukan aktivitas. Alhasil, saya sering banget kecapekan dan merasa anxious atau cemas. One day, all hell broke loose dan saya mulai sering panic attack. Kalau bisa dideskripsikan, panic attack yang saya alami terasa seperti sedang tenggelam dan kamu nggak bisa berenang. Nggak bisa nafas, overwhelmed with your own feelings, dan kehilangan kontrol atas diri sendiri. Saya ingat banget, di situ saya belum berani pergi ke psikolog atau psikiater sendiri untuk konsultasi. Untungnya, tante saya adalah psikiater! Hahaha. Jadi saat itu saya diajari cara managemen diri biar nggak terlalu stres ditambah latihan pernafasan dan sedikit meditasi untuk mengurangi rasa cemas. Supaya nggak panic attack lagi.
Lagi lagi, hidup saya kembali ke balance dan saya kembali stabil. Namun di awal tahun 2018, saya dihadapkan dengan skripsi. Sebenarnya, saya nggak pernah melihat skripsi sebagai hal yang perlu ditakutkan dan bikin ribet. Tapi di saat itu, saya juga lagi nemu passion baru dan saya pingin banget magang lagi sebelum skripsi. I wanted to postpone my thesis dan magang dulu untuk beberapa bulan sebelum saya mulai skripsi. Sayangnya, kampus saya lumayan strict soal jadwal kelulusan dan saya diharuskan untuk skripsi semester itu juga. Nggak boleh ditunda! Di situ juga saya mulai merasa saya nggak lagi stabil dan mulai lagi panic attack kecil-kecil. Akhirnya saya cari cara untuk membuat skripsi jadi ‘less daunting’ karena saya merasa saya belum siap mengerjakannya, mulai dari pilih topik yang saya suka, ngerjain di perpustakaan kampus lain, sampai nyetok ‘sesajen’ skripsi seperti kopi dan cemilan.
Sayangnya, saya dipasangkan dengan dosen pembimbing yang sangat perfeksionis dan terus menerus nge-push saya untuk melakukan hal yang lebih bagus lagi. It sounds good, right? Ternyata, dengan kondisi mental health saya yang lagi nggak stabil, ‘motivasi’ dari dosen pembimbing malah jadi double bladed sword buat saya. Kali ini bukan lagi panic attack, saya merasa semakin hari saya makin ‘menurun’. Tiap hari bad mood, jadi nggak nafsu makan, diajak ngobrol malah saya bales pakai omelan (LOL!). Saya sehari-hari cuma bisa merasa capek dan sedih. Kalau nggak tidur, ya nangis. Hal-hal yang tadinya bikin saya happy, entah kenapa jadi nggak bikin happy lagi. Mau makeup atau makan pizza, saya nggak bisa ngerasa senang-senangnya sama sekali. Puncaknya adalah saat saya dikejar deadline sama dosen pembimbing. Saking capeknya, saya sempat mikir untuk bunuh diri aja. Yes, I got suicidal!
Saya ingat banget ketika perasaan untuk pingin bunuh diri muncul, saya langsung takut dan merasa butuh ke dokter. Saya butuh bantuan yang lebih konkret karena curhat sama teman atau Ibu saya nggak lagi membuat saya membaik. Berkali-kali Google “why am I suicidal?” nggak akan memberi hasil apapun. Akhirnya saya pergi ke Sanatorium dan bikin janji sama psikiater. Cerita sama dokternya tentang semua yang saya rasain. Dikasih obat, lalu disuruh kembali setiap dua minggu selama dua bulan. Di saat itu, saya udah nggak mikirin rasa takut ketika panic attack saat tahun kedua kuliah. Justru saya malah takut kalau terjadi apa-apa pada saya, kalau saya nggak kunjung menyelesaikan permasalahan mental health saya. Saya kerja keras untuk mengatur emosi saya untuk fokus ke recovery walaupun masih sedikit tertekan tanggal kumpul skripsi dan sidang. Lebih belajar untuk mengenal diri sendiri dan ngatur batasan. Kapan harus berhenti, kapan harus mulai lagi. Kapan harus baca jurnal dan kapan harus nonton video puppies guling-gulingan di salju, biar bisa menyeimbangkan emosi dan mental state! Hahaha.
Walaupun saya sudah lulus kuliah dan wisuda, saya tetap pergi ke dokter untuk maintenance. Dua bulan sekali, dan saya udah nggak minum obat lagi. Kalau ditanya, masih sedih nggak? Masih dong, tapi nggak jadi #forevermood seperti saat saya depresi kemarin, hahaha. Masih suicidal? Nggak sama sekali, karena recovery yang saya lakukan cukup membantu saya untuk menjaga diri supaya nggak ‘kebablasan’ lagi. Overthinking, anxious, panic attacks? Yes, yes, and sometimes. Apa karena terapi di psikiater, semua permasalahan mental health akan hilang gitu aja? Nggak juga, sih. Harus diingat kalau kita sebagai manusia adalah work in progress, jadi punya fase ‘naik’ dan ‘turun’ itu sangat normal. Saya bersyukur saya memaksakan diri untuk pergi ke psikiater saat itu karena saya jadi belajar banyak tentang diri sendiri, how to work with my mental illnesses. Kalau kamu pernah merasa seperti saya, saya sangat merekomendasikan pergi ke profesional. Psikolog, psikiater, bahkan konselor untuk mulai. Kalau merasa takut, ajak teman yang mungkin mengerti untuk temenin konsultasi. Kalau ragu-ragu padahal sudah ‘nggak kuat lagi’, just remember this: you are doing your future self a big favor.