Demi menunjang image cantik dan ‘hits’, nggak sedikit dari kita yang suka edit foto Instagram agar terlihat sempurna. Efek jangka panjangnya apa sih?
Ada rasa bangga dan senang, sedikit haru, saat melihat foto kampanye iklan Body Hero-nya Glossier yang baru. Lima perempuan dengan lima bentuk badan yang berbeda, tanpa busana, nggak di-edit. Ada yang hamil, ada yang curvy, ada yang atletis, ada juga yang di tengah-tengah. Salah satu dari mereka punya bentuk tubuh yang mirip sama tubuh saya. It’s almost like seeing how my body looks in the mirror. Yang terbersit di pikiran saya: we are one step closer to diminishing impossible beauty standards and introducing what is real in social media.
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Azalia, keberadaan Instagram (atau media sosial, in general) dapat mendatangkan efek buruk bagi kita, penggunanya. Selain menimbulkan cemas berlebihan yang sebenarnya nggak perlu, rasanya capek banget kan kalau harus sederetan foto orang-orang ”sempurna” yang kayaknya hidupnya nggak pernah susah?
Berhubung saya udah main Instagram dari kelas 10 SMA (so… 6 years ago?!) dan pas SMA saya jerawatan parah, seluruh foto saya yang ada di Instagram selalu pakai tiga lapis filter, courtesy of Camera360. Pertengahan menuju akhir SMA, peran influencer di media sosial mulai bermunculan dan hadir pressure baru untuk tampil polished di tiap postingan.
Walaupun nggak separah sekarang, saya juga pernah terjebak jaga image berlebihan, dengan menata feed Instagram saya secantik mungkin dan posting-annya nggak lebih dari lima-enam baris foto. Baru tahun ini saya mencoba berdamai dengan sosial media, nge-post tanpa jaim dan nggak main edit-edit lagi. Kalaupun di-edit, lebih mengatur cahaya foto atau tone foto, bukan merubah saya sebagai subjeknya.
Cukup sedih kalau lihat di usia saya yang 15 tahun saat itu, udah kepikiran untuk merubah tampilan diri dengan aplikasi edit foto Instagram. Hal ini juga masih umum di usia awal 20-an saya ini. Pas saya lagi pilih-pilih mau upload foto liburan yang pakai bikini di Bali, ada teman cewek saya yang ngomong: “Brin, mau dibikin kurus nggak fotonya? Sini gue bantu edit. Biar bagus feed Instagram lo.”
Pas dengar komentar itu, saya sempet kaget dan nggak tau mau merespon apa. Badan saya memang jauh banget dari definisi ”kurus” dan sure, I’d love to shed a couple of kilograms. Di satu sisi, saya tahu maksud dia sebenarnya baik, tapi saya sempat nge-down karena ngerasa saya nggak cukup ”bagus” untuk muncul di profil Instagram sendiri.
Pas saya selidiki, ternyata masih banyak yang suka edit foto selfie-nya sebelum diposting ke sosial media, dengan misi yang berbeda dari dulu saya SMA. Ada yang pakai aplikasi makeup dikit-dikit biar nggak kucel, ada juga yang permak seluruh look: pipinya dibuat tirus, hidungnya dimancungin, lengannya dibuat lebih kurus, pahanya dikecilin.
Yang bikin saya kaget adalah orang di balik foto serba extra ini udah attractive banget, tanpa di-edit. Mungkin ini alasan selebriti banyak banget yang ke-gap ngedit fotonya untuk diunggah ke Instagram; kalimat ”We are our worst critic” terasa pas banget untuk mendeskripsikan fenomena ini.
Baca juga: Social Media Persona: Pilih Real atau Perfect?
Walaupun gitu, saya juga nggak merasa ngedit foto itu salah. Selain masih main tools di Instagram, saya juga usaha untuk buat foto saya terlihat bagus, jadi nggak perlu di-edit. This includes belajar angle yang tepat dan mengambil puluhan foto untuk mendapatkan satu yang “sempurna” dari segi estetika.
Memang semua yang berlebihan memang nggak baik, apalagi kalau udah berhubungan sama sosial media. Selama aktivitas edit-mengedit untuk tampil oke di Instagram dilakukan dalam batas kewajaran, nggak masalah kok. Tapi saya yakin, kita semua bisa punya mentalitas yang lebih baik dari yang kita punya sekarang. Selain mencoba untuk jadi lebih baik dan berdamai dengan diri sendiri, jangan lupa juga untuk jadi baik ke orang-orang disekitar juga. I believe we are old enough to stop commenting negative things seperti “Kok gendutan?” atau “Kok jadi jerawatan?” on other people’s photos. Dengan melakukan hal sesimpel itu, kita nggak cuma membantu diri sendiri untuk lebih baik ke diri sendiri, kita juga membantu orang tersebut ”sayang” pada diri mereka sendiri.