Beberapa tahun belakangan ini, beauty products berbahan natural dan organik mulai banyak dicari di Indonesia. Di Female Daily pun, produk skincare yang lagi banyak di-review adalah yang natural dan organik.
Salah satu alasan mengapa banyak orang beralih ke produk-produk natural dan organik ini adalah karena “katanya” lebih aman untuk kulit. Suatu pernyataan yang ada benarnya, but still debatable karena iritasi kulit bisa dipicu oleh bahan kimia ataupun yang dari alam. Sebutan “bahan kimia” pun jangan langsung dipandang sebelah mata karena seperti yang saya tulis di artikel “Paraben Dalam Kosmetik, Betulkah Berbahaya?”, ada banyak sekali miskonsepsi tentang penggunaan bahan kimia dalam kosmetik.
Kembali ke produk natural, nggak bisa dipungkiri kalau tren healthy living yang lagi menjamur di social media sekarang ini, termasuk banyaknya ragam katering diet dan program penurunan berat badan, turut membuat para beauty enthusiasts melirik produk kecantikan yang natural. Selain itu, ada beberapa bahan kimia yang memang tidak direkomendasikan untuk ibu hamil dan menyusui, karena itu mereka memilih untuk memakai produk kecantikan natural.
Kalau saya sendiri sih, belum ada alasan yang betul-betul penting mengapa ingin coba produk natural. Simply karena penasaran saja. Biarpun begitu, saya nggak mau langsung percaya pada label natural atau organik pada suatu produk, karena bisa jadi itu hanya strategi marketing. Untuk mengetahui suatu produk betul-betul natural atau tidak, kita harus teliti membaca daftar kandungannya serta memahami apa arti dari kata natural dan organik itu sendiri.
Baca juga: 3 Produk Natural Skincare dari New Zealand
Natural
The most abused word in the beauty industry, really! Dari mulai brand premium seharga jutaan hingga krim abal-abal yang dijual di Instagram, banyak sekali yang memakai kata “natural” sebagai jargonnya. Sebenarnya produk yang kayak gimana sih, yang dibilang natural itu?
Pada dasarnya, suatu produk bisa dikatakan natural jika memiliki kandungan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di industri kecantikan sendiri, kata “natural” memiliki banyak sekali versi dan tidak ada definisi khusus yang dijadikan patokan dalam mengukur seberapa naturalnya suatu produk. FDA (Food and Drug Administration) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika pun belum menetapkan peraturan khusus tentang definisi kata “natural” pada produk-produk kosmetik.
Jika kita membandingkan produk A dan produk B, misalnya. Pada ingredients list produk A, terdapat kandungan aloe barbadensis leaf juice yang berasal dari tanaman lidah buaya. Produk A tidak mengandung pewangi buatan, pewarna buatan, maupun pengawet sintetis. Sedangkan produk B memiliki kandungan yang sama, aloe barbadensis leaf juice, tapi memiliki pewangi dan pewarna buatan, ditambah dengan bahan pengawet sintetis, pengemulsi, serta alkohol dalam ingredients list-nya.
Apakah produk A bisa dibilang natural? Tentu saja bisa. Kalau produk B? For some people, yes. Toh, di kandungannya terdapat lidah buaya yang diambil dari bumi, sama saja dengan produk A. Namun bagi beberapa orang, produk natural haruslah “saklek” dan tidak dicampur dengan pengawet atau bahan sintetis apapun supaya terjaga kemurniannya. Kalaupun ada bahan kimia, yang fungsinya justru menguntungkan karena bisa menambah efektivitas bahan aktif misalnya, hanya boleh dalam persentase yang sangat kecil.
Tidak adanya klasifikasi khusus dalam pengelompokkan produk natural ini membuat banyak orang menjadi bingung. Satu produk bisa dibilang natural karena memang benar-benar natural, tapi produk lain juga bisa dibilang natural hanya karena mengandung ekstrak bahan alami, tanpa peduli kalau di dalamnya juga terkandung bahan-bahan kimia atau diproses secara kimia.
Baca juga: 6 Anggapan Salah Seputar Produk Perawatan Wajah Natural
Organik
Suatu brand bisa dibilang organik jika sudah mendapat sertifikasi khusus dari lembaga pemerintah atau organisasi tertentu. Untuk mendapatkan sertifikasi dari lembaga-lembaga ini, suatu brand harus menyertakan info-info berikut ini:
– Persentase kandungan bahan organik dalam produk yang dipasarkan
– Persentase minimum bahan sintetis yang digunakan sebagai pengawet
– Kandungan yang tidak dimasukkan (misalnya silikon, paraben, SLS, pewarna buatan, pewangi buatan),
– Proses manufaktur, mulai dari penanaman benih hingga panen yang bebas dari bahan kimia sintetis
Persyaratannya tentu tidak mudah dan masing-masing lembaga menetapkan peraturan yang berbeda-beda. Ada yang mengharuskan bahwa lahan pertanian untuk produksi haruslah pertanian organik yang sudah berjalan minimal tiga tahun. Ada yang juga yang seperti USDA Organic, label Departemen Pertanian Amerika, yang menetapkan suatu produk harus mengandung minimal 95% bahan organik baru bisa mendapat sertifikat. Jika suatu produk hanya mengandung 70% bahan organik, maka label yang tertera adalah “made with organic ingredients“.
Sebagian besar perusahaan ada yang diminta untuk tidak melakukan percobaan pada binatang, which can lead to another label called “cruelty-free”, but it’s a whole different story. Label cruelty-free menerangkan bahwa suatu produk dinyatakan bebas dari animal testing tapi belum tentu produk tersebut natural ataupun organik. Jadi, produk yang berbahan dasar kimia pun bisa mendapatkan label “cruelty free“. Ada juga label non-toxic, yang lekat dengan isu greenwashing, tapi terlalu panjang untuk dijabarkan di sini dan akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.
Gampangnya, semua produk yang organik sudah pasti natural, tetapi produk yang natural belum tentu organik. Produk-produk organik lebih mudah untuk dibedakan karena selalu ada stempel yang menyatakan bahwa produk tersebut dinyatakan benar organik. Kalau produk natural, balik lagi ke preferensi masing-masing, how “natural” you want your products to be? Ada begitu banyak produk yang mengklaim dirinya sebagai produk natural di luar sana, jadi berbekal sedikit ilmu dan hasil research sana-sini, saya yakin kamu pasti sudah bisa menentukan sendiri mana yang betul-betul natural dan mana yang tidak.
Baca juga: Pentingnya Mengetahui Proses Produksi Skincare Organik