banner-detik

technology

Netizen Indonesia dan Bullying Menurut Psikiater

seo-img-article

Bully, trolling sampai akun palsu. Sudahkah kamu jadi netizen Indonesia yang cerdas? 

Sebelumnya, FD udah pernah mengangkat subyek fenomena media sosial dan efeknya yang kadang bisa membuat kita mikir, kenapa hidup kita nggak #goals material, alias sesempurna foto-foto orang yang kita lihat di feed Instagram. Pernah juga tentang sisi lain med-sos, yaitu tekanan belanja online yang bikin kita tambah mudah untuk jadi konsumtif, hahaha…But on a more serious note, yuk kita bahas sedikit soal dampak negatif internet lainnya, yaitu trolling, bullying dan perilaku netizen Indonesia yang cenderung negatif.

Di video tutorial makeup terakhir, saya bahkan udah “gerah” dengan internet trolls yang mengkritik gaya makeup saya, bahkan gaya hijab saya, dengan bahasa-bahasa kurang enak dan nggak beretika. I could’ve just shrugged it off, tapi karena menurut saya masalahnya cukup fundamental, kayaknya kritik un-faedah harus  dijawab dengan edukasi. Kalau penasaran, silakan lho ditonton video berikut; mulai dari menit 9:25.

Apa sih trolling itu? Dari sejumlah sumber internet, trolling dilakukan oleh trolls; sebutan bagi netizen yang memulai keributan di ranah internet dengan komentar bernada negatif (bukan sekedar nggak setuju), off-topic, bahkan penuh kebencian dengan tujuan untuk memprovokasi pembuat konten maupun netizen lain.

Menurut psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ, kita harus tahan banting menghadapi trolling di media sosial. Bener-bener nggak ada jalan lain.

“Berani posting, ya harus berani kebal menghadapi pujian maupun hujatan,” kata dr. Nova.

Tapi, tentunya trolling dan trolls nggak bisa dibenarkan, atau hanya dianggap fenomena media sosial biasa.

“(Trolling itu) Ya jahat sekali, karena mampu menyengsarakan, dan tahu pihak itu (yang dikiritik) akan tidak berdaya, dan merasa ‘guilty by association’,” lanjut dr. Nova. Dunia virtual kan judgemental sekali tanpa kroscek kebenaran.

penyebab-jerawat-kurang-tidur-stress-featured

Dokter pun membahas fenomena negatif lain yang mengikuti internet trolls: berlindung di balik akun palsu. Jadilah orang semakin mudah untuk jadi trolls.

“Tidak bicara secara langsung; identitas terkamuflase. Ada benarnya juga istilah SMS; senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang.”

Selama ini saya belum pernah “tergerak” untuk bikin akun palsu agar bisa jadi social police, trolling sana-sini dengan nol tanggung jawab. Media sosial bukan ajang jadi pengecut, walau kenyataannya banyak orang memilih jadi pengecut, ya?

Eh tapi, yang bikin akun palsu untuk stalk mantan, jangan tersinggung ya 😀 Your case is special LOL.

Salah satu prinsip saya adalah, menggunakan tools media sosial sebaik mungkin. Ada tombol like, dislike, ya digunakan. Ada “fasilitas” blok user atau comment, ya dimanfaatkan saat perlu. Nonton konten beauty vlogger yang kurang sreg di hati, bertentangan sama value kita? Ya nggak usah lanjut tonton, ketimbang memulai “perang”dengan jari.

Tapi memang kadang nggak semudah itu. Menurut dr. Nova, “Perasaan  manusia terlalu luas rentangnya, yang sulit dijelaskan dengan tombol like atau dislike.”

This day and age, we’re just one click away from being whatever we want our social media presence to be. Kita bisa jadi pembuat maupun penikmat konten yang bijak, cerdas, inspiratif, atau kebalikan 180 derajat-nya. Psikiater boleh memberi pandangannya, tapi kamu mau jadi yang mana, semua kembali ke kontrol jari, hati dan otak masing-masing.

Any thoughts? Punya pengalaman nggak enak dengan netizen Indonesia, trolling atau bullying? Atau kamu malah tanpa sadar pernah jadi internet troll? Share di kolom komentar ya.

Slow Down

Please wait a moment to post another comment